Koalisi Sipil: Tunda Pengesahan RUU Kesehatan dan Pastikan Partisipasi Publik

Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan. Foto Dok.Koalisi.
Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan. Foto Dok.Koalisi.

RIENEWS.COM – Enam hari sebelum Rapat Kerja Komisi IX DPR bersepakat membawa RUU Kesehatan alias RUU Omnibus Law Kesehatan ke paripurna untuk disahkan, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan yang terdiri dari 43 lembaga telah mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahannya menjadi UU Kesehatan. Sejak digulirkan ke publik, RUU ini menuai pro-kontra cukup besar karena belum berpihak pada kepentingan rakyat dan belum berorientasi pada perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan publik yang merupakan amanah konstitusi.

Setelah menyimak komunikasi publik yang disampaikan pemerintah dan mempelajari draf RUU beserta Daftar Isian Masalah (DIM) usulan pemerintah, koalisi mencatat setidaknya ada tujuh alasan penundaan.

Pertama, pembahasan RUU tertutup dan tanpa partisipasi publik yang bermakna.

DIM yang dirilis Kementerian Kesehatan menyebutkan, dari 478 pasal RUU Kesehatan, total DIM batang tubuh sebanyak 3020, meliputi 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi. Namun DIM yang dibahas sejak Agustus 2022 baru diketahui publik sekitar Maret 2023.

Hingga 13 Jui 2023, publik belum disuguhkan draft terbaru RUU Kesehatan. Naskah yang dipublikasi Kemenkes melalui kanal partisipasisehat.kemkes.go.id merupakan naskah per Februari 2023. Pihak Kemenkes juga menyatakan naskah itu sudah mengalami sejumlah perubahan.

Koalisi menengarai perumusan RUU Kesehatan menempuh proses senyap tanpa melibatkan partisipasi publik yang bermakna. Perumusan RUU Kesehatan juga tidak melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk organisasi profesi, anak muda, kelompok perempuan dan ibu, pakar, akademisi, ilmuwan, dan kelompok disabilitas secara bermakna untuk memastikan kepentingan kesehatan segenap kelompok warga terlindungi dalam RUU Kesehatan.

“Seharusnya perumus UU melibatkan publik sejak awal pembahasan, bukan sekedar sosialisasi
draft yang sudah disusun,” demikian koalisi menegaskan.

Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUUXVIII/2020, partisipasi publik bermakna tak sebatas pemenuhan hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), melainkan menguji sejauh mana pemerintah mempertimbangkan hak warga dalam memberikan pendapatnya (right to be considered). Bahkan bila tidak diakomodasi, masyarakat berhak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Baik pihak pemerintah maupun DPR dalam merumuskan RUU Kesehatan tidak melakukan pemenuhan hak itu.

Partisipasi publik yang bermakna penting untuk menjamin hasil undang-undang yang memenuhi rasa keadilan (social justice) dan perlindungan kesehatan publik. Selain itu, proses yang tidak partisipatif melenceng dari amanah UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“Atas dasar itu, pengesahan RUU Kesehatan harus ditunda hingga pemerintah dan DPR berkomitmen melakukan proses perancangan dan pembahasanyang memenuhi prinsip keterbukaan, kejujuran, dan kemanusiaan serta keadilan,” papar koalisi.

Kedua, urgensi kebutuhan RUU Kesehatan dengan metode omnibus law lemah.

DIM RUU Kesehatan tidak cukup menjelaskan urgensi mengapa diperlukan metode omnibus law dengan meleburkan 10 peraturan perundang-undangan. Tidak terlihat masalah dasar yang dijadikan basis perlunya membuat RUU omnibus law. Gagasan transformasi kesehatan yang digulirkan Kemenkes melalui RUU Kesehatan perlu dikaji ulang secara komprehensif.

Waktu pembahasan yang singkat, terburu-buru, tidak adanya transparansi, dan luasnya cakupan RUU Kesehatan, dan komunikasi publik yang dilakukan pemerintah cenderung berfokus pada isu terkait organisasi profesi telah membingungkan sekaligus menyulitkan publik untuk memahami isinya. Dominasi isu terkait organisasi profesi menyembunyikan substansi penting lainnya, seperti isu yang ada dalam siaran pers ini dan isu-isu penting lainnya yang telah dikemukakan berbagai organisasi.

“Dominasi isu terkait organisasi profesi mengaburkan ancaman terabaikannya pemenuhan hak atas kesehatan,” jelas koalisi.

Ketiga, RUU Kesehatan cenderung mengarah pada liberalisasi sistem kesehatan dan memperluas privatisasi atau komersialisasi layanan kesehatan, yang menjadikan layanan kesehatan, termasuk tenaga medis, sebagai komoditi.

Komersialisasi sektor kesehatan tidak hanya akan berpotensi memusatkan pasar kesehatan, terutama di wilayah perkotaan. Namun juga berpotensi memperluas kesenjangan akses layanan kesehatan di wilayah 3T (terpencil, tertinggal, terluar) di Indonesia. Ini bertentangan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan RUU, yaitu memperluas penyediaan layanan kesehatan ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk daerah 3T.

Naskah RUU Kesehatan sangat kental mendorong kemudahan investasi di bidang layanan kesehatan, pendidikan dokter, dan farmasi yang memiliki potensi untuk mengabaikan pemusatan perlindungan kepentingan kesehatan publik. Ini sejalan dengan usulan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia kepada pemerintah pada akhir 20212 untuk membentuk undang-undang omnibus law di sektor kesehatan menyusul minimnya minat investor asing menanamkan modal mereka di industri kesehatan dalam negeri, menyusul minimnya bahasan
industri kesehatan dalam Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker).

Selain itu, dalam berita Bisnis Indonesia pada Desember 2021, Kadin berharap undang-undang omnibus law di sektor kesehatan diharapkan dapat mencakup aturan terkait dengan pendidikan kedokteran, dan pembangunan rumah sakit.

Bahkan sebelum RUU disahkan, Kemenkes sudah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan The Bill & Melinda Gates Foundation (BMGF) untuk agenda transformasi pelayanan kesehatan yang melibatkan sektor swasta pada 8 Juni lalu. Atas dasar itu, pemerintah diduga memaksa publik untuk menerima begitu saja RUU Kesehatan, meskipun publik belum mengetahui isi dan konsekuensi dari RUU tersebut.

Keempat, RUU Kesehatan meniadakan alokasi minimal anggaran kesehatan yang potensial berdampak pada semakin minimnya dukungan anggaran untuk pelayanan kesehatan.

Artikel lain

Suara DPR Tak Bulat Bawa RUU Kesehatan ke Paripurna

Tips Beribadah Haji Bagi Penderita Sakit Jantung

Perayaan Iduladha 2023 Berbeda, DPR Ajak Utamakan Persaudaraan