Koalisi Sipil: Tunda Pengesahan RUU Kesehatan dan Pastikan Partisipasi Publik

Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan. Foto Dok.Koalisi.
Konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan. Foto Dok.Koalisi.

Pasal 171 ayat 1 dan 2 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur alokasi anggaran kesehatan minimal 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD di luar gaji dan diprioritaskan untuk pelayanan publik.

Dalam draft RUU Kesehatan versi pemerintah (pasal 420 (2) dan (3) menghapus alokasi anggaran minimal 10% dari APBN dan 10 persen dari APBD yang ada dalam draft RUU versi DPR, dengan disertai beberapa alasan. Salah satunya, terlalu banyak belanja negara yang bersifat mandatory mengakibatkan kapasitas APBN/APBD menjadi sempit dan tidak fleksibel/inefisiensi. Alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan adalah hasil reformasi yang sudah lama diperjuangkan masyarakat dan kini hendak dihapuskan begitu saja oleh RUU Kesehatan.

Penghapusan ketentuan alokasi anggaran minimal tersebut bertentangan dengan tujuan dibuat RUU Kesehatan, yaitu memperluas dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan hingga ke desa-desa, termasuk ke daerah 3T. Tentu saja membutuhkan peningkatan pembiayaan kesehatan yang menuntut adanya alokasi anggaran yang memadai.

Penghapusan alokasi anggaran minimal akan berdampak pada kondisi di mana pemenuhan hak atas layanan kesehatan bergantung pada “kebaikan hati” penguasa pusat dan daerah. Padahal pemenuhan hak atas kesehatan adalah kewajiban negara dan pemenuhan kewajiban itu dibuktikan dengan adanya alokasi anggaran minimal untuk sektor kesehatan. Tidak adanya alokasi anggaran minimal dapat berdampak pada penganggaran dana kesehatan yang semakin minim dan berkonsekuensi pada semakin buruknya pelayanan kesehatan.

“Apabila RUU ini disahkan, pihak yang paling dirugikan adalah kelompok miskin, penyandang disabilitas, kelompok rentan -termasuk perempuan dan anak, dan kelompok masyarakat di daerah 3T,” papar koalisi.

Kelima, sentralisasi tata kelola kesehatan oleh pemerintah pusat dapat mengurangi independensi pengetahuan di sektor kesehatan.

Pada dokumen narasi RUU Kesehatan, terdapat beberapa klaster yang memuat usulan perluasan kewenangan pemerintah pusat. Antara lain memuat usulan perluasan kewenangan pemerintah dalam ranah profesi kesehatan. Pendidikan dan pelatihan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan serta kolegium yang mengampu body of knowledge profesi kesehatan yang selama ini independen.

Penarikan semua di bawah wewenang pemerintah pusat akan mengancam independensi pengembangan body of knowledge tersebut. Selain itu menjadikan tata kelola SDM kesehatan akan berada di bawah kekuasaan Kemenkes mulai dari hulu hingga hilir. Absolutisme kekuasaan ini berpotensi terjadinya abuse of power terhadap tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Pemerintah mengkritik organisasi profesi yang disebut sebagai masalah utama dalam sistem kesehatan di Indonesia. Perbaikan tentu diperlukan, tetapi dengan RUU Kesehatan, pemerintah mengambil alih seluruh fungsi dan peran organisasi profesi, kolegium, konsil kedokteran dan konsil tenaga kesehatan dan meletakkannya di tangan Menkes.

“Artinya, pemerintah melakukan apa yang dikritiknya sendiri, hanya memindahkan masalah dari satu
aktor (organisasi profesi) ke aktor lain (Menkes),” kata koalisi.

Keenam, substansi RUU Kesehatan memuat berbagai kontradiksi yang apabila diabaikan akan membuat RUU ini gagal mencapai tujuannya.

Artinya, penyusunan dan pembahasan RUU secara tergesa-gesa dan serampangan hanya akan membuang-buang sumberdaya negara yang sudah semakin terbatas. Beberapa kontradiksi itu, di antaranya adalah perluasan dan peningkatan kualitas layanan kesehatan sampai ke tingkat desa versus penghapusan alokasi anggaran minimal dari APBN/APBD untuk sektor kesehatan; dominasi organisasi profesi versus dominasi Menkes; percepatan produksi dokter lokal versus kemudahan masuknya dokter asing; peningkatan peran negara versus perluasan peran swasta; pertimbangan nilai-nilai ekonomi versus pertimbangan nilai-nilai hak asasi manusia.

Selain itu, Kemenkes dalam RUU Kesehatan dimandatkan melakukan pengendalian potensi penyalahgunaan pelayanan dan kendali mutu biaya pelayanan kesehatan terhadap peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan. Namun, berkaca dari kondisi saat ini, koalisi melihat pengelolaan dana kesehatan tidak menggunakan prinsip transparansi, inklusifitas, dan tak jarang mutu pelayanan tidak maksimal. Salah satu masalah dalam pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan selama ini yaitu out of pocket peserta BPJS.

Selama ini, pemerintah sudah diberi kewenangan untuk menetapkan besaran tarif yang akan dibayarkan ke fasilitas kesehatan melalui skema INA CBGs. Tetapi dalam skema tersebut terdapat beberapa komponen yang tidak ditanggung oleh pemerintah dan menyebabkan tingginya out-of-pocket masyarakat. Pengendalian ini terkesan mengeksklusi masyarakat untuk terlibat secara aktif dalam pengawasan penyelenggaraan program JKN.

Ketujuh, RUU Kesehatan tidak cukup menjawab persoalan pelayanan kesehatan yang rentan korupsi dan berbagai bentuk fraud.

Korupsi dan segala bentuk fraud adalah persoalan besar dalam pelayanan kesehatan. Sepanjang 2022, aparat penegak hukum sedikitnya telah menindak 27 kasus korupsi terkait kesehatan dengan kerugian negara sekitar Rp73,9 miliar. Angka tersebut terus meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Kasus yang ditindak penegak hukum umumnya berkaitan dengan pembangunan (khususnya pembangunan puskesmas) dan pengadaan alat kesehatan. Di luar kasus yang telah ditangani penegak hukum, korupsi dan fraud kesehatan diyakini terjadi lebih masif dan berdampak signifikan pada belum optimalnya layanan kesehatan dan mahalnya akses publik terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu. Termasuk didalamnya mengenai praktik kolusi dan gratifikasi peresepan obat serta registrasi dan perizinan praktik tenaga medis dan tenaga kesehatan.

Sayangnya, RUU yang disebut menjadi pembaharu layanan kesehatan di masa depan tidak cukup menangkap dan memitigasi persoalan fraud sektor kesehatan. Di antaranya, bagaimana upaya peningkatan transparansi harga obat di seluruh fasilitas kesehatan, bagaimana upaya pencegahan dan penanganan praktik kolusi dan gratifikasi yang melibatkan perusahaan farmasi, dan lainnya. Untuk dokter PNS, pencegahan gratifikasi diatur dalam UU Nomor 20 tahun 2001 dan UU Nomor 5 tahun 2014.

Semestinya, RUU ini mengisi kekosongan hukum terkait dengan gratifikasi terhadap dokter swasta. Koalisi mengingatkan hal mendasar tersebut karena ketiadaan partisipasi bermakna, pelemahan kewajiban penganggaran yang protektif terhadap warga, komodifikasi layanan kesehatan, terlebih potensi korupsi yang kian terfasilitasi melalui RUU ini jelas merupakan bentuk pelanggaran hak atas kesehatan sebagai hak-hak asasi manusia yang telah dimandatkan dalam UUD Negara Republik Indonesia.

Artikel lain

Ini yang Dimatangkan Sebelum Pengumuman Transisi Endemi Covid-19

Jazz Gunung Bromo 2023 Usung Ermy Kulit hingga Denny Caknan

Ini Ketentuan Asuransi Jemaah Haji Wafat dan Kecelakaan

Demikian siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan secara hybrid di Jakarta pada 13Juni 2023 yang terdiri dari: YLBHI, Ecosoc Institute, IM57+ Institute, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) FH UGM, Indonesia Corruption Watch, Transparency International Indonesia, LaporCovid-19, The PRAKARSA, Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraaan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH UNAIR, Pusat Studi HAM (PUSHAM) UII, Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), SIGAB Indonesia, Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Trade Union Rights Centre (TURC), Yayasan Kurawal, Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN), Yayasan Peduli Distrofi Muskular Indonesia (YPDMI), Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (REMISI), KASIH RUMALA Group, Ohana Indonesia, TERALA, SAPDA, CIQAL, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Pemberdayaan Tuli Buta (PELITA) Indonesia, PPDI Padang, Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Lentera Anak, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI). (Rep-04)