Implikasinya, upaya RR juga harus memerhatikan kegiatan yang dilakukan pada masa darurat, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar seperti air bersih dan logistik bagi warga yang harus mengungsi karena bertempat tinggal di zona bahaya.
Selain itu, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan oleh letusan Sinabung juga terus mengalami perubahan. Akibatnya hasil perhitungan sementara kerusakan dan kerugian akibat erupsi Gunungapi Sinabung pun berubah-ubah. Sejak September 2013 hingga Mei 2015 diperkirakan kerusakan dan kerugian mencapai Rp1,80 triliun. Terdiri dari nilai kerusakan sebesar Rp 578,99 miliar dan nilai kerugian sebesar Rp 1,23 triliun.
Kerusakan dan kerugian paling besar terjadi di sektor ekonomi produktif yang meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, perdagangan, pariwisata, perikanan, UKM, dan industri sebesar lebih dari Rp 1,14 triliun. Berikutnya kerusakan dan kerugian di sektor permukiman sebesar Rp 505,9 miliar, infrastruktur Rp 83,93miliar, sosial Rp 53,43 miliar, dan lintas sektor sebesar Rp 18,26 miliar.
Menyikapi misteri Sinabung tersebut di atas, maka ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung. BPBD dan instansi terkait agar terus melakukan penjagaan di pintu masuk menuju zona merah yang tidak boleh ada aktivitas sesuai dengan rekomendasi dari PVMBG.
BNPB dan BPBD agar selalu siap siaga untuk menanggulangi jika sewaku-waktu terjadi pengungsian karena Sinabung meletus besar. BNPB dan BPBD agar terus mengupayakan relokasi dan pemenuhan kebutuhan warga yang harus mengungsi karena tidak bisa kembali ke rumahnya. BPBD Kabupaten Karo juga agar terus melakukan sosialisasi ancaman sekunder dari Gunung Agung seperti banjir lahar hujan.
Dari sisi masyarakat, maka ada beberapa persiapan yang bisa dilakukan. Di antaranya adalah penyiapan masker dan tas siaga bencana yang berisi berbagai keperluan dan dokumen penting yang mudah dibawa manakala Sinabung sewaktu-waktu meletus. Pada musim penghujan, masyarakat yang bermukim dan beraktivitas di dekat sungai yang berhulu di Gunung Sinabung agat tetap waspada terhadap ancaman banjir lahar.
Pengetahuan masyarakat mengenai bahaya letusan gunungapi juga perlu terus ditingkatkan termasuk upaya adaptasi yang bisa dilakukan. Sebagai contoh, desain rumah yang menyesuaikan ancaman hujan abu, sehingga tidak membahayakan dan mudah dibersihkan. Selanjutnya penyediaan dan penyiapan cadangan air minum jika saluran dan persediaan yang ada terganggu oleh banjir lahar atau terdampak letusan.
Dari sisi penanggulangan bencana, maka letusan Sinabung yang terjadi setelah lama tidak aktif menujukkan fenomena serupa dapat juga terjadi di gunung-gunung lain di Indonesia yang berjumlah 127 buah. Oleh sebab itu, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha tak boleh lengah dan harus selalu siap siaga menghadapi risiko bencana gunungapi ini.
Khusus untuk upaya RR, maka apa yang dilakukan di Sinabung kembali menegaskan bahwa setiap upaya penanggulangan bencana adalah unik. Hal ini terjadi karena setiap daerah memiliki kearifan lokal dan kapasitas yang berbeda beda, sehingga diperlukan penyesuaian dan pendekatan khusus yang disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut.
Dalam hal ini, setiap pemerintah daerah memiliki kewenangan dan kebijakan tersendiri dalam menentukan model atau pendekatan terbaik dalam penanganan pascabencana. Di samping itu, urusan penanganan bencana di daerah bukan hanya urusan BPBD saja, tetapi perlu dukungan penuh dari Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) lainnya. Dalam upaya RR diperlukan juga koordinasi dan sinergi pemerintah daerah dan pusat secara menyeluruh, mulai dari tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan.
Apabila upaya RR diharuskan untuk melakukan relokasi warga, maka perlu disadari bahwa proses ini sangat rumit dan seringkali menimbulkan konflik. Di seluruh dunia, proses relokasi warga kerapkali bermasalah. Proses ini tidak sekadar memukimkan warga di tempat yang baru, tetapi juga perlu mempertimbangkan berbagai faktor lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan manakala melakukan proses relokasi di antaranya adalah perlunya perhatian pada akses warga terhadap penghidupan atau mata pencahariannya. Di Yogyakarta, warga yang direlokasi pascaerupsi Merapi 2010 masih bisa mengakses lahan mereka untuk beternak dan bercocok tanam. Di Sinabung, warga diberikan bantuan sewa lahan agar tetap bisa berproduksi di tempat yang baru. Selain itu, penyiapan infrastruktur seperti jalan, listrik, dan air serta fasilitas umum dan sosial juga perlu mendapatkan perhatian.
“Dengan menyiapkan itu semua, diharapkan proses relokasi akan berjalan dengan baik,”tulis Sutopo.
Seperti di Hamparan Nang Belawan 2, tiang-tiang untuk jaringan listrik sudah masuk ke lokasi dan menunggu disambungkan ke rumah-rumah baru yang telah berdiri. Diharapkan berbagai fasilitas lain juga akan segera menyusul, sehingga rumah-rumah di lokasi itu siap untuk ditinggali, tidak kosong dan menggigil kedinginan diguyur hujan. (Bay)