“Jaksa tidak sama sekali menyinggung substansi terkait kerusakan lingkungan hidup, masyarakat adat hingga kekerasan di Papua. Justru jaksa menyatakan semua isu yang diangkat merupakan rekayasa. Hal ini tentu mencederai dan melecehkan martabat perjuangan masyarakat sipil khususnya di Papua,” kata Nurkholis.
Nurkholis Hidayat menambahkan, Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai bahwa tuntutan JPU bagian dari malicious prosecution.
“Kami menilai bahwa tuntutan jaksa merupakan bagian dari malicious prosecution, sebab tuntutan ini tidak berdasarkan hasil-hasil pembuktian di persidangan. Tuntutan yang dibacakan jaksa memiliki muatan permusuhan pribadi, bias, atau alasan lain di luar kepentingan keadilan. Hal ini dapat dilihat dari tuntutan pidana maksimal yakni penjara 4 tahun dan jaksa menyatakan bahwa tidak ada satupun alasan yang meringankan,” tegas Nurkholis.
Muhammad Isnur menyebut tuntutan Fatia-Haris alarm berbahaya bagi situasi demokrasi khususnya kebebasan sipil di Indonesia.
Artikel lain
Fatwa MUI: Hukumnya Haram Dukung Agresi Israel ke Palestina
Hari Pahlawan 10 November Enam Tokoh Ini Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
1,8 Juta Pelamar CASN dan PPPK 2023 Jalani Tes Kompetensi
“Tuntutan ini kian mempertegas bahwa Jaksa merupakan institusi penegak hukum yang memberikan sumbangsih besar terhadap buruknya situasi HAM, khususnya kebebasan dalam berpendapat. Jaksa pun bertindak tidak profesional karena melahirkan tuntutan manipulatif, jahat dan politis. Terlebih penggunaan UU ITE lagi-lagi menegaskan bahwa produk hukum ini problematic, bersifat karet dan menggerus hak-hak digital masyarakat,” ujar Muhammad Isnur dalam siaran pers YLBHI. (Rep-02)
Sumber: YLBHI