RIENEWS.COM – Bawaslu menyampaikan terdapat 1.322 jajaran pengawas pemilu yang mendapatkan penanganan terkait kesehatan. Meliputi 27 orang meninggal dunia, 71 orang kecelakaan, 147 rawat inap dan 1.077 orang rawat jalan.
Dari 27 pengawas yang meninggal dunia, sebanyak 13 orang meninggal dunia pada rentang waktu 14-19 Februari 2024. Rentang waktu tersebut merupakan hari H pencoblosan hingga perhitungan perolehan suara. Sementara 14 orang lainnya meliputi 7 orang meninggal pada 2023 dan 7 orang pada rentang waktu 1 Januari-13 Februari 2024.
“Bawaslu mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya kawan-kawan Pengawas Pemilu Pahlawan Demokrasi dan memberikan apresiasi dan penghargaan yang tinggi atas dedikasi dan pengabdian dalam mengawasi Pemilu untuk mengawal demokrasi Indonesia,” jelas anggota Bawaslu, Herwyn JH Malonda dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Kesehatan, Senin, 19 Februari 2024.
Bawaslu telah menyiapkan aturan teknis santunan kepada yang mengalami gangguan kesehatan hingga meninggal dunia. Pihaknya menyatakan masih memantau setiap laporan yang masuk apabila ada angka kemalangan yang bertambah.
“Bawaslu terus akan memantau penanganan kesehatan jajaran pengawas pemilu, terlebih bagi yang masih bertugas dalam pemungutan suara ulang atau susulan,” kata Herwyn.
Berdasarkan Surat Keputusan Bawaslu Nomor 11 Tahun 2023 tentang Pemberian Santunan Kecelakaan Kerja bagi pengawas Pemilu ad hoc, besaran uang santunan sebesar Rp36 juta bagi yang meninggal dunia dan Rp10 juta untuk biaya pemakaman. Bagi yang mengalami cacat permanen diberikan Rp16,5 juta, luka berat Rp16,5 juta, dan luka sedang Rp8,250 juta.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan ada beberapa hal yang menyebabkan jajaran pengawas dapat meninggal atau sakit. Walau presentase angka kematian jauh turun dibanding Pemilu 2019, Budi menyatakan Kemenkes menyayangkan, karena satu nyawa sangat banyak untuk angka kematian.
“Kemenkes melihat satu nyawa meninggal itu sudah banyak karena masyarakat pasti berduka. Kami sampaikan hasil skrining petugas yang berisiko tinggi itu paling banyak karena hipertensi, lalu jantung,” ucap Budi.
Ia meminta Bawaslu dan KPU dapat mengutamakan skrining sebelum pendaftaran masa mendatang. Dia melihat cara ini dapat menekan angka kematian karena hanya orang-orang sehat yang bekerja menjadi petugas di TPS.
“Mau daftar ya jangan sakit makanya harus lebih ketat lagi (seleksinya). Mereka ini jam kerjanya 10-12 jam loh, berat dan khusus, kami mengusulkan agar itu menjadi syarat menjadi petugas ke depannya,” pinta dia.
Sebagai informasi, pada Pemilu 2019 terdapat 2.558 orang yang mendapatkan penanganan kesehatan. Dalam rinciannya sebagai berikut, 92 orang meninggal dunia, 24 orang luka berat dan keguguran, 21 orang kekerasan dan penganiaayaan, 275 orang kecelakaan, 438 orang rawat inap dan 1708 orang rawat jalan.
Penyebab Petugas Pemilu Jadi Korban
Sementara anggota Bawaslu Jawa Timur, Nur Elya Anggraini menyampaikan bahwa Pemilu 2024 tidak mengalami perubahan signifikan dibandingkan Pemilu 2019. Dimana skema pengawasan, khususnya jumlah pengawas TPS antara tahun 2019 dan 2024 masih sama.
“Pengawas TPS jumlahnya satu orang,” ujar Nur Elya dalamacara Airlangga Forum yang digelar Pascasarjana bekerja sama dengan Asosiasi Lembaga Penyiaran Publik Lokal Provinsi Jawa Timur bertema “Pesta Demokrasi Jangan Jatuh Korban Lagi: Refleksi Gugurnya 894 Petugas KPPS di Pemilu 2019” pada 16 Februari 2024.
Dasarnya, bahwa yang paling berat dalam rangkaian penyelenggaraan pemilu adalah saat hari H. Anggota KPPS dan pengawas TPS harus standby sejak sehari sebelum TPS dibuka hingga TPS ditutup.
Dalam sehari, anggota KPPS diharuskan menggelar Pemilu sekaligus menghitung perolehan suara dari presiden, partai, dan masing-masing caleg. Pada pemilu kali ini, surat suara yang dihitung ada lima lembar sehingga cukup menyita waktu dan energi.
“Untuk mengurangi beban panitia pemilu, saat ini KPU sudah mulai membuat rekap paralel,” tutur Nur Elya.
Dari segi imunologi, Prof Theresia Indah Budhy Sulisetyawati selaku KPS Program Studi Imunologi menyampaikan, bahwa jam kerja anggota KPPS yang bisa mencapai 20 sampai 24 jam dalam sehari sangat tidak sesuai dengan prinsip imunologi.
Sebab saat seseorang duduk lebih dari 3 jam, aliran darah tidak lancar, padahal tubuh butuh asupan nutrisi. Jika nutrisi tidak terpenuhi, maka dapat menyebabkan kekurangan oksigen ke otak.
Artikel lain
Sirekap Dihentikan Sementara, Komisi II DPR Minta Hitung Manual Tetap Jalan
Kecelakaan KA Baraya – KA Turangga, KNKT Temukan Uncommanded Signal
Film ”Dirty Vote” Ungkap Kecurangan Politik Pemilu yang Menahun