Komisi VIII DPR Kritisi Konsep Sekolah Rakyat Kementerian Sosial

Menteri Sosial Saifullah Yusuf saat meninjau Rusunawa Baru Kronong di Kota Probolinggo, Jawa Timur, pada Minggu, 13 April 2025. Foto kemensos.go.id.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf saat meninjau Rusunawa Baru Kronong di Kota Probolinggo, Jawa Timur, pada Minggu, 13 April 2025. Foto kemensos.go.id.

RIENEWS.COM – Konsep sekolah rakyat yang saat ini tengah dijalankan Kementerian Sosial, dipertanyakan anggota DPR RI. Menteri Sosial Saifullah Yusuf kini sedang merumuskan nota kesepahaman (MoU) dengan 200-an kepala daerah yang telah mengajukan aset gedung dan lahan yang nantinya difungsikan untuk sekolah rakyat.

Terdapat 53 lokasi yang disiapkan untuk pembukaan sekolah rakyat yang tersebar di wilayah Jakarta, Bekasi, Temanggung, Magelang, Bandung, beberapa daerah di Jawa Timur, Kalimantan, Aceh, dan Papua.

Program ini dirancang untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui pendekatan pendidikan dengan merevitalisasi sarana dan prasarana yang telah ada. Hal ini bertujuan untuk mendukung Inpres 8/2025 tentang optimalisasi pengentasan kemiskinan ekstrem.

Anggota Komisi VIII DPR RI Matindas J Rumambi mengatakan sekolah rakyat ditujukan bagi anak-anak yang masuk dalam kategori miskin ekstrem desil satu dan desil dua pada DTSEN (Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional). Namun, Sekolah Rakyat yang berkonsep boarding school atau asrama ini menimbulkan berbagai pertanyaan.

Pertama, anggaran. Dengan target yang diusulkan sebanyak 200 sekolah rakyat, Matindas menyampaikan anggaran tersebut sejatinya dapat dialokasikan untuk memperbaiki dan menambah ruang kelas belajar pada sekolah SD/SMP/SMA yang sudah eksisting saat ini.

“Tentu akan menambah jumlah peserta didik yang dapat ditampung. Apalagi saat ini banyak ditemukan di berbagai daerah sekolah yang kekurangan peserta didik. Lebih baik jika peserta didik yang masuk dalam desil satu dan dua DTSEN tersebut dialokasikan ke sekolah umum yang ada dan dipastikan biaya pendidikannya gratis,” kata Matindas dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, 16 April 2025.

Dia juga mempertanyakan mutu pendidikan dan kurikulum sekolah rakyat, apakah akan sama dengan sekolah yang ada saat ini yang sudah memiliki standar pendidikan nasional. Menurut Matindas, masih terdapat banyak sekolah yang membutuhkan bantuan pemerintah dalam hal peningkatan fasilitas belajar seperti perpustakaan, komputer, alat peraga pendidikan, peningkatan kualitas guru pengajar, buku-buku belajar dan lain sebagainya.

Matindas menegaskan jika tujuan sekolah rakyat adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, maka seharusnya sekolah rakyat menjadi tanggung jawab Kemendikdasmen, sehingga tidak tumpang tindih antar-kementerian. Di sisi lain, Kementerian Sosial dapat fokus dalam memberikan perlindungan dan pemberdayaan sosial.

Dia mengkhawatirkan sekolah rakyat tersebut berpotensi menciptakan sistem pendidikan yang eksklusif karena dikhususkan oleh golongan miskin ekstrem. Para siswa dari golongan itu, kata Matindas, hanya akan bergaul di sekolah dengan kasta yang sama, sehingga mereka akan terlepas dari sosialisasi masyarakat yang sebenarnya berasal dari berbagai tingkatan ekonomi. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan stigma dan diskriminasi baru di dunia pendidikan dan memperburuk kesenjangan sosial.

“Menteri Sosial dan jajarannya harus betul-betul membuat perencanaan yang matang mengenai sekolah rakyat, tidak perlu tergesa-gesa. Jangan sampai sekolah rakyat malah berakhir dikesampingkan di dunia pendidikan dan penggunaan anggaran menjadi sia-sia ditengah efisiensi anggaran dan ketidakpastian ekonomi global,” ungkapnya.

Artikel lain

Puan Pertanyakan Rencana Kebijakan Prabowo Evakuasi Warga Palestina

Alasan AJI, IJTI dan PFI Tolak Program Rumah Subsidi bagi Jurnalis

Kejagung Sita Harta “Haram” dari Hakim Tersangka Kasus Suap Hakim Rp60 Miliar