AJI: Jurnalis Dibayangi Persekusi dan Kekerasan Fisik

Jurnalis di Yogyakarta melakukan aksi penuntutan pengusutan kasus terbunuhnya wartawan Udin. Foto Rienews.com.
Jurnalis di Yogyakarta melakukan aksi penuntutan pengusutan kasus terbunuhnya wartawan Udin. Foto Rienews.com.

RIENEWS.COM – Tahun 2018 mencatat sejumlah peristiwa penting seiring dengan dimulainya Pemilihan Umum Presiden, DPR RI,DPD, DPRD pada 17 April 2019 mendatang. Banyak perkembangan yang terjadi di bidang jurnalisme dan media, meski secara keseluruhan situasinya belum sepenuhnya menggembirakan dalam soal situasi kebebasan pers dan profesionalisme jurnalis dan media di Indonesia.

Reporter Sans Frontiers atau Reporter Without Borders, organisasi pemantau media yang berbasis di Paris, pada tahun 2018, menempatkan Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara. Dengan peringkat yang sama dengan tahun lalu itu, maka posisi Indonesia berada di papan bawah. Dengan posisi ini, Indonesia memang masih lebih baik dari Filipina yang berada di peringkat 13), Myanmar (137), Kamboja (142), Malaysia (145), Singapura (151), Brunei (153), Laos (170), dan Vietnam (175). Namun Indonesia masih berada di belakang Timor Leste yang ada di peringkat 93.

Dalam pemeringkatan yang dilakukan Reporter Without Borders, ada tiga aspek yang menjadi tolak ukur dalam menilai kondisi kebebasan pers sebuah negara. Masing-masing: iklim hukum, iklim politik, dan iklim ekonomi. Iklim hukum menyoroti aspek regulasi sebuah negara terhadap kebebasan pers. Sedangkan aspek politik menyoroti kebijakan yang berdampak terhadap kebebasan pers. Termasuk dalam bagian ini adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis dan media. Iklim ekonomi menyorot lingkungan ekonomi negara yang berdampak pada kebebasan pers.

Baca Berita: Kesejahteraan Tidak Diukur Dengan Pembangunan Jembatan-Jalan Tol

Indonesia dalam satu tahun terakhir ini, menurut data statistik yang dikumpulkan Bidang Advokasi AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Indonesia, mencatat setidaknya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. Jumlah ini lebih banyak dari tahun lalu yang sebanyak 60 kasus dan masih tergolong di atas rata-rata. Kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi tahun 2016 lalu (sebanyak 81 kasus), paling rendah 39 kasus pada tahun 2009 lalu.

Kekerasan fisik, berupa pemukulan, penamparan dan sejenisnya, masih menjadi jenis kekerasan terbanyak pada tahun 2018 ini. Berdasarkan data AJI selama Januari-Desember 2018, kekerasan fisik terhadap jurnalis setidaknya ada 12 kasus. Jenis kekerasan lainnya yang juga banyak adalah pengusiran atau pelarangan liputan dan ancaman teror, yang masing-masing sebanyak 11 kasus. Kasus lainnya adalah perusakan alat dan atau hasil liputan (10 kasus), pemidanaan (8 kasus).

Dominasi jenis kekerasan fisik dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis ini juga terjadi pada tahun 2017 dan 2016. Pada tahun 2017, jenis kekerasan fisik terdapat 30 kasus dari jumlah total 60 kasus. Tahun 2016 sebanyak 35 dari total 81 kasus kekerasan. Namun, tahun 2018 mencatat jenis kasus kekerasan baru yang itu sepertinya bisa menjadi trend mengkhawatirkan di masa-masa mendatang, yaitu berupa pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai aspirasi politik pelaku, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan negatif. AJI mengkategorikannya sebagai doxing, atau persekusi secara online.

Baca Juga: Akhir Pekan Terakhir 2018, Wisatawan ‘Serbu’ Puncak Berastagi

Pada tahun 2018 ini setidaknya ada 3 kasus persekusi online yang menimpa jurnalis kumparan.com dan detik.com.

Aliansi Jurnalis Independen sudah lama memberi perhatian pada kasus doxing yang biasanya berujung pada persekusi. Sebelumnya, doxing dan persekusi secara online menimpa warga sipil. AJI bersama organisasi masyarakat bergabung dalam Koalisi Antipersekusi untuk menangani trend yang merisaukan ini. Sebab, cuitan di media sosial harus dilihat sebagai bagian dari kebebasan berbicara dan berekspresi, sehingga tidak seharusnya disikapi dengan cara berlebihan yang merisak jati diri seseorang, hingga berujung perburuan dan kekerasan, bahkan pemidanaan.

Selain doxing persekusi online, tahun 2018 juga mencatat setidaknya ada tiga kasus pemidanaan terhadap jurnalis. Pemimpin Redaksi serat.id Zakki Amali, jurnalis Tirto.id Mawa Kresna, dan salah satu inisiator IndonesiaLeaks.id Abdul Manan.

Zakki dilaporkan ke Polda Jawa Tengah oleh Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) pada 21 Juli 2018 dengan tuduhan pelanggaran pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pelaporan tersebut didorong oleh berita investigasi dugaan plagiat Rektor Unnes dalam empat laporan yang terbit pada 30 Juni 2018. Atas laporan ini, Polda Jawa Tengah sudah melakukan pemanggilan untuk kedua kalinya kepada Zakki pada 13 November 2018.

Ancaman terhadap penggunaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga dialami jurnalis tirto.id Mawa Kresna terkait laporan mendalam soal sindikat jual-beli ijazah dan modus kuliah fiktif. Pelapornya adalah Staf Khusus Menteri Ristekdikti Abdul Wahid Maktub. Sejauh ini Abdul Wahid telah menunjuk kuasa hukum dari Law Firm Sholeh, Adnan & Associates (SA&A) untuk menempuh jalur hukum terkait laporan Jurnalistik itu.