Catahu 2023 Koalisi Masyarakat Sipil: Demokrasi Mundur, HAM Diabaikan

Aksi masyarakat Pulau Rempang,Batam. Foto Istimewa.
Aksi masyarakat Pulau Rempang,Batam. Foto Istimewa.

Deputi Eknas WALHI, Muhammad Islah
Bahwa demokrasi di Indonesia sedang dipreteli dengan cara mengubah beberapa peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang direvisi pemerintah dijadikan instrumen untuk membungkam orang-orang atau kelompok yang tidak pro pada penguasa. UU ITE, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja adalah contohnya.

UU Cipta Kerja bekerja untuk menutup ruang-ruang demokrasi. Di sektor lingkungan saja, ada tiga persoalan sangat serius. Pertama, penegakan hukum dilemahkan. Kedua, kejahatan lingkungan diputihkan. Ketiga, partisipasi warga dihabisi.

Sekjen PBHI Nasional, Gina Sabrina
Bahwa catatan tanda “demokrasi illiberal” dari PBHI setidaknya dari beberapa indikator. Ditandai ciri upaya partisan dengan memanfaatkan lembaga negara yang lahir dari reformasi menjadi instrumentalisasi kekuasaan, politisasi hukum, politik sandra terhadap oposisi dan melawan oposisi di akar rumput hingga politisasi militer.

PBHI mencatat berbagai peristiwa “kemunduran” demokrasi telah dimulai pasca Pemilu 2019. Mulai dari konsolidasi lawan Pemilu menjadi ‘sekutu’, termasuk partai lawan untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan mengkooptasi lembaga negara.

“Step back” demokrasi ini diskenario dengan sangat rapi mulai dari isu perpanjangan 3 periode, penjabat daerah dari TNI, POLRI hingga “incumbent” di belakang layar. Puncak pembajakan MK dan penambahan batas syarat pencalonan dilanjutkan dengan skenario “pengkondisian” Pemilu. Seperti pelibatan aparat pertahanan dan keamanan dalam proses kampanye, penerbitan PP Nomor 52 Tahun 2023 tentang Cuti Dalam Kampanye Pemilu, Perubahan UU ITE untuk membungkam kelompok kritis terhadap pemilu hingga wacana pemilihan tidak langsung di RUU Daerah Khusus Jakarta.

Ketua Centra Initiative, Al Araf
Bahwa Presiden Jokowi telah meruntuhkan pilar-pilar negara hukum demi kekuasaaan. Negara Hukum telah diubah menjadi negara kekuasaan. Negara hukum dicirikan dengan empat pilar. Pertama, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedua, peradilan yang independen. Ketiga, pemerintahan yang berdasar kepada undang-undang. Keempat, pembagian kekuasaan (power sharing).

Empat pilar negara hukum itu kini ambruk. Negara hukum (rechstaat) yang menjadi cita konstitusi negara itu mati dan kini menjadi negara kekuasaan (machstaat).

Penghormatan terhadap HAM tidak dilakukan Jokowi. Salah satu indikator terbesarnya adalah diabaikannya pelanggaran HAM berat masa lalu. Yang lebih menyakitkan, Jokowi berkoalisi dengan pelanggar HAM dan menjadikan anaknya sebagai pendamping pelanggar HAM tersebut sebagai cawapres pada Pilpres 2024. Selain itu, kebebasan sipil secara faktual terancam. Kriminalisasi atas pegiat HAM terjadi, seperti dalam kasus Haris dan Fatia.

Pemerintahan juga tidak tunduk pada peraturan perundang-undangan. Justru jalannya pemerintahan dilakukan dengan mengakali peraturan perundang-undangan. Akibatnya, power sharing tidak terjadi. Melainkan kooptasi atas cabang-cabang kekuasaan, bahkan terjadi intimidasi terhadap kekuasaan yang berbeda dengan kekuasaan politik rezim.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti
Bahwa Pemilu 2024 merupakan Pemilu yang terburuk sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, sejak reformasi 1998, terutama pada aspek penyelenggaraannya. Penyelenggara Pemilu bermasalah, mulai dari pelanggaran etik berat hingga kejahatan pidana. Di samping itu, penyelenggaraannya mengalami persoalan berat.

Dari empat tahapan besar Pemilu, yaitu pendaftaran, kampanye, pencoblosan, dan penghitungan suara, dua di antaranya sudah terbukti mengalami persoalan serius yang melibatkan penyelenggara Pemilu dan aparatur pemerintah.

Juga terjadi tiga dosa Pemilu yang tidak bisa dimaafkan dalam demokrasi, yaitu intimidasi dan kekerasan, mobilisasi politik uang, dan manipulasi suara. Dua dari tiga dosa tersebut sudah terjadi saat ini, dari masuknya dana illegal untuk kepentingan pemilu hingga intimidasi dan kekerasan.

Berbagai persoalan serius dalam Pemilu terjadi karena kekuasaan politik rezim memobilisasi dukungan secara telanjang untuk membela kepentingan ekonomi-politik dinasti. Pemilu demokratik dikorbankan untuk kepentingan rezim dan dinasti politiknya.

Artikel lain

Pesan Natal Paus Fransiskus: Hentikan Agresi Israel di Jalur Gaza Palestina

Ledakan di Smelter ITSS Morowali, YLBHI: Hilirisasi Nikel Penuh Masalah

Pemerintah Jamin Ketersediaan LPG Selama Nataru 2024 Aman

“Menghadapi fenomena ini, publik mesti melakukan tindakan interupsi yang diperlukan. Gen Z harus melakukan kampanye aktif untuk menyelamatkan demokrasi. Generasi muda, pemilih pemula, harus menyosialisasikan setiap hari bahaya dinasti dan ancamannya terhadap demokrasi. Kampanye aktif yang dilakukan generasi muda diharapkan dapat menghalau dikorbankannya Pemilu dan demokrasi untuk kepentingan rezim dan dinasti politiknya,” tegas Ray memungkasi. (Rep-04)