“Indikator ekonomi seperti tren meningkatnya imbal hasil surat utang pemerintah dengan performa yang memburuk dibanding negara lain di kawasan, performa IHSG yang turun 5,82 persen dalam 3 bulan terakhir, PHK di sektor padat karya, dan pelemahan daya beli yang berlanjut jadi rapor merah tim ekonomi Prabowo,” kata Bhima.
Era Donald Trump
Bhima juga menyayangkan pembantu Presiden Prabowo tidak memiliki persiapan matang dalam menghadapi era kedua Donald Trump menjabat Presiden Amerika Serikat.
“Padahal tantangan proteksionisme Trump harus direspon melalui langkah menarik relokasi pabrik dari AS maupun China, tapi mengurus Apple saja sampai sekarang belum berhasil menjadi realisasi investasi. Koordinasi antar kementerian di 100 hari kerja pertama, buruk,” imbuh Bhima.
Risiko Trump yang belum diantisipasi terkait dengan dicabutnya mandat pengembangan EV (kendaraan listrik) yang mempengaruhi harga nikel, tembaga dan bauksit di pasar internasional.
“Sejauh ini Menteri ESDM belum melakukan pembatasan produksi nikel dan penghentian pembangunan smelter nikel yang sudah kelebihan pasokan. Kenapa tidak diambil regulasi yang tegas soal pembatasan produksi nikel untuk lindungi harga di pasar internasional,” tanya Bhima.
Dari sektor energi dan lingkungan hidup, Menteri ESDM belum tegas merilis PLTU mana saja yang akan dimatikan pada 2025, padahal Prabowo sudah berucap komitmen pemensiunan PLTU di forum G20 Brasil.
Menteri Kehutanan juga blunder ketika mendorong 20 juta hektar hutan untuk cadangan pangan dan energi.
“Antara masalah energi, pangan dan lingkungan hidup ada kegagalan membaca situasi. Swasembada energi seharusnya tidak bertolak belakang dengan konservasi hutan. Kalau hutan makin hilang misalnya demi co-firing PLTU (campuran cacahan kayu), Indonesia bakal dikecam dunia internasional dan menurunkan dukungan pembiayaan global untuk konservasi hutan sekaligus transisi energi. Jelas instruksi Prabowo tidak berhasil diturunkan menjadi program implementatif yang berkualitas,” ucap Bhima.
Performa Hukum dan HAM
Peneliti hukum Celios, Muhamad Saleh menilai bahwa performa hukum dan HAM dalam pemerintahan Prabowo-Gibran belum menunjukkan kinerja yang baik.
“Terdapat lima sorotan utama. Wacana pengampunan koruptor, agresivitas aparat kepolisian, multifungsi TNI, stagnasi kualitas HAM dan kebebasan sipil, ketidakefektifan regulasi dan birokrasi. Masalah ini menjadi alasan utama publik memberikan penilaian buruk terhadap kualitas menteri,” kata Saleh
Lebih lanjut Saleh memaparkan dalam hal efektivitas regulasi dan birokrasi, misalnya, selama 100 hari kerja pertama Prabowo lebih sibuk dengan aturan organisasi dan kelembagaan. Sebanyak 80 UU disahkan untuk pembentukan daerah, 68 Perpres untuk organisasi kementerian, 1 Perpres terkait APBN, dan hanya 1 PP yang secara substansi berkaitan dengan penghapusan utang nelayan dan petani.
Secara keseluruhan, masyarakat mengharapkan adanya perbaikan nyata dalam tata kelola anggaran, kualitas kepemimpinan, serta pencapaian program-program prioritas yang lebih optimal.
Artikel lain
Polda Metro Jaya Berlakukan Tilang Melalui WhatsApp
Reklamasi di Muara Tawar Bermasalah KKP Segel Pagar Laut
Pengungkapan TPPU Judi Online Hotel Aruss Semarang Polri Sita Rp103 Miliar
“Evaluasi pencapaian 100 hari ini dapat dimanfaatkan Presiden Prabowo Subianto untuk berbenah agar pemerintahan ini dapat memberikan hasil yang lebih baik bagi rakyat Indonesia,” pungkas Saleh. (Rep-02)