CfDS UGM Ungkap Tiga Ancaman Siber Pemilu 2019

Direktur Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, Dr. Dedy Permadi pada konferensi pers 'Ancaman Keamanan Siber Masa Pemilu 2019' di Fisipol UGM, Kamis 18 April 2019. [Foto UGM | Rienews]

Operasi informasi ini pernah melanda Amerika Serikat di mana kemenangan Presiden Trump yang didukung oleh disinfromasi dan malinfromasi. Selain itu juga terjadi di Brazil di mana kemenangan Presiden Jair Bolsonaro yang didukung oleh penyebaran hoaks melalui aplikasi whatsapp berskala massif.

Lebih lanjut Dedy, menjelaskan bahwa hoaks menjadi salah satu bentuk ancaman keamanan siber yang mengancam kualitas demokrasi, khsusunya Pemilu.

Data Kominfo 2019 mencatat selama Agustus 2018 hingga Maret 2019 terdapat 1.224 hoaks yang teridentifikasi berkaitan dengan isu politik. Jumlah tersebut meliputi 175 hoaks pada Januari 2019, 353 hoaks pada Februari 2019, serta 453 hoaks di Maret 2019.

Operasi informasi ini memanfaatkan bias kognitif manusia yang memiliki keterbatasan dalam memproses informasi. Manusia hanya memilih sumber infromasi yang mudah dikonsumi.

Saat ini, dikatakan Dedy, masyarakat juga hidup dalam era post truth di mana informasi kebohongan dapat dianggap sebagai kebenaran karena infromasi tersebut dekat dengan keyakinan dan terus menerus diterima orang tertentu. Selain itu juga terjadi fenomena eco chamber di mana pengguna media sosial (Medsos) terisolasi pada satu ruang berpikir.

Alogaritma Medsos dapat menggiring pengguna berlama-lama mengakses konten-konten yang dekat dengan kesukaannya sehingga berimbas pada isolasi terhadap perspektif lain.

Menyitir Shackelford dkk, 2016, Dedy menyampaikan ada lima area dalam proses elektoral yang rentan akan serangan siber. Lima area itu adalah infromasi yang diterima pemilih menjelang Pemilu, daftar peserta Pemilu, mesin untuk memilih, mekanisme rekapitulasi untuk menentukan pemenang, dan sistem diseminasi untuk menyebarluaskan berita terkait hasil pemilu.

Ancaman serangan siber, disebutkan Dedy, sangat berpotensi merusak Pemilu. Namun dia yakin dengan membangun keamanan siber kolaboratif-progresif dapat menjadi benteng menghadapi serangan siber.

Salah satunya dengan membangun kesadaran manusia dengan pengetahuan atau literasi digital yang baik. Di samping itu juga membuat regulasi terkait keamanan siber yang mumpuni dan meningkatkan kualitas sistem IT keamanan siber.

“Gerakan literasi digital yang sifatnya kolaboratif sudah seharusnya didukung oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya progresif,” pungkas Dedy.  (Rep-04)