Melihat situasi di atas, UII sebagai kampus yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia, didirikan oleh para pembesut Republik ini, dan menjadi pelantang Reformasi 1998, memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk terus berjuang menegakkan Indonesia agar berjalan di atas dasar Konstitusi dan menghormati hak asasi manusia.
Acara yagg dihadiri segenap sivitas akademika UII dan alumni UII itu diakhiri dengan pembacaan pernyataan sikap oleh UII, yakni:
Pertama, menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan
bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara, dan mengembalikan prinsip independensi peradilan.
Kedua, mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil, dan makmur.
Ketiga, mendorong partai politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya dalam
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keempat, mendesak partai politik yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2024 ini untuk menjadi
oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara, serta menjunjung tinggi Konstitusi dan hak-hak asasi manusia dengan menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum lainnya sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka.
Kelima, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai
politik yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Keenam, meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum
(KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) untuk mengusut semua kecurangan pemilu, termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi, pada masa sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara. Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang absah (legitimate).
Ketujuh, menyerukan kepada aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan
menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan berbagai muslihat tuna etika. Secara khusus, kami menyeru para tokoh kritis nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predator pemangsa dan pembunuh demokrasi di Indonesia.
“Pernyataan sikap ini digerakkan oleh hati nurani kami dan kesadaran anak bangsa yang
melihat praktik berbangsa dan bernegara yang semakin jauh dari nilai-nilai keadaban,” jelas Fahtul yang memungkasi dengan menaburkan bunga di atas keranda hitam bertulisakan “demokrasi” di sampingnya. (Rep-04)