“Nilai dari bukti tidak disalahgunakan bahwa tidak fair atau tidak adil, bukti yang telah terungkap di sidang adat, digunakan untuk menjerat anak dalam proses peradilan lainnya. Kesepakatan yang telah diputuskan bersama menjadi tanggung jawab bersama,” paparnya.
Menurut Beni, kedepan diperlukan perumusan kembali beberapa norma yang ada dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terutama untuk mengakomodir nilai-nilai kearifan lokal di masing-masing daerah Indonesia.
Salah satu yang bisa menjadi rujukan, adalah nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Nias dengan musyawarah berdasar fondrakö.
Selain itu, aparat penegak hukum perlu mengefektifkan hukum yang hidup dalam masyarakat, khususnya dalam penyelesaian perkara pidana anak.
Beni mengatakan bahwa hukum asli masyarakat akan lebih efektif dalam menjawab kelemahan-kelemahan proses peradilan pidana fromal.
“Hukum pidana adat lebih bersifat korektif, rehabilitatif, dan restoratif,” imbuh Beni. (Rep-04)