RIENEWS.COM – Sejumlah jurnalis, praktisi media komunitas, akademisi, dan elemen masyarakat sipil di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Penyelamat Media dan Demokrasi (FPMD), dengan tegas menolak rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang diinisiasi Komisi I DPR RI periode 2019-2024.
Draf RUU Penyiaran tersebut dinilai berpotensi menjadi malapetaka yang mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Tentu saja, RUU ini bakal menambah deretan masalah tata kelola media penyiaran, platform digital dan demokrasi di masa depan.
Massa aksi yang terdiri dari FPMD, Forum Cik Di Tiro dan Sejagad menggelar aksi memperingati 26 tahun reformasi 98 dan menolak pengesahan RUU Penyiaran di Museum TNI Dharma Wiratama pada Selasa siang, 21 Mei 2024.
Koordinator aksi Januardi Husin mengatakan RUU Penyiaran yang ada saat ini berpotensi merugikan masyarakat luas sehingga harus ditolak pengesahannya.
Menurut dia, RUU ini dibahas dalam masa transisi pemerintahan, yakni kurang dari enam bulan di ujung masa anggota DPR RI periode 2019–2024. Secara administrative procedural, DPR RI dan pemerintah sudah tidak memiliki legitimasi dan kewenangan untuk membuat peraturan perundangan baru.
“Apabila DPR RI tetap memaksakan diri melanjutkan pembahasan RUU dan pengesahan UU, hal itu jelas tidak sesuai dengan etika hukum atau constitutional ethics,” kata Januardi.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta itu mengatakan, di negara-negara demokratis mana pun, ketika legislatif dan kepala negara maupun kepala pemerintahan baru telah terpilih, maka pemerintahan yang eksisting tidak akan membuat keputusan baru dan strategis.
“Jika DPR RI dan Pemerintah tetap memaksakan diri membahas dan mengesahkan RUU Penyiaran menjadi UU, mereka tidak lagi memiliki legitimasi kekuasaan sehingga keputusan yang diambil tidak sah. Tentu saja patut dipertanyakan apa agenda terselubung di balik itu?” ungkap Juju—sapaan akrabnya.
Proses penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran selama ini tidak transparan. Masyarakat tidak mengetahui prosesnya, tetapi tiba-tiba draf RUU Penyiaran ini muncul.
“Selama ini, tidak ada niat baik dari DPR RI untuk transparan dalam proses penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran ini. Kalau akhirnya sebagian masyarakat dapat memperoleh draf RUU Penyiaran, hal itu bukan karena adanya transparansi dari pihak DPR RI, melainkan hasil perjuangan kelompok masyarakat sipil,” jelasnya.
Padahal, lanjut dia, UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sangat jelas mengamanatkan perlunya transparansi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sebab, ketika prosesnya tidak transparan, keputusan yang diambil juga tidak akuntabel.
“Kami berpendapat bahwa proses penyusunan dan pembahasan draf RUU Penyiaran yang tidak transparan dan tidak akuntabel ini mengindikasikan adanya iktikad tidak baik. Tentu saja berpotensi merugikan kepentingan masyarakat sebagaimana terjadi dalam kasus revisi UU KPK dan lahirnya UU Cipta Kerja,” terangnya.
Langkah DPR RI dalam penyusunan dan pembahasan RUU Penyiaran tidak sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Salah satu catatan penting dari putusan MK tersebut adalah pentingnya partisipasi masyarakat secara bermakna atau meaningful participation—dalam proses perumusan peraturan perundangan.
“Terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas,” imbuhnya.
Artikel lain
Dewan Pers Tolak Revisi Undang-Undang Penyiaran
Ini Pasal-pasal Revisi UU Penyiaran Berpotensi Batasi Kebebasan Pers dan Berekspresi
Koalisi Kebebasan Pers Lampung Gelar Aksi Tolak Revisi UU Penyiaran