Sementara itu, terkait aspek substansi draf RUU Penyiaran berpotensi menambah masalah tata kelola media penyiaran, platform digital, dan demokrasi di masa depan.
“RUU Penyiaran hanya melegitimasi praktik-praktik bisnis penyiaran yang toksik, tidak sehat, baik secara bisnis maupun sosio-kultural,” katanya.
Ketua PWI DIY Hudono mengatakan RUU Penyiaran berpotensi mengebiri kebebasan pers karena proses pembahasannya tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat terutama komunitas pers.
“Diyakini ada agenda tersembunyi dari pembentuk UU sehingga memaksakan kehendak untuk mengegolkan revisi UU Penyiaran,” kata Hudono.
Menurut dia, larangan penayangan liputan investigasi yang notabene merupakan ruh jurnalistik, jelas-jelas menghambat fungsi pers sebagai media kontrol social, sebagaimana diamanatkan UU Pers.
Selain itu, pengambilalihan otoritas Dewan Pers sebagai penyelesai sengketa oleh KPI, jelas-jelas bertentangan dengan UU Pers.
“Kami mendesak DPR untuk membatalkan rencana pengesahan RUU Penyiaran,” tegas Hudono
Darmanto dari Rumah Perubahan Lembaga Penyiaran Publik (RLPP) menilai bahwa RUU Penyiaran memberi kewenangan lebih luas bagi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengawasi isi siaran, sekaligus men-downgrade Lembaga Penyiaran Publik menjadi Lembaga Penyiaran Negara.
“Tidak hanya itu, RUU ini berpotensi mengaburkan eksistensi Lembaga Penyiaran Publik Lokal dan mencampuradukkan pengaturan penyiaran dengan platform digital, serta adanya tumpang tindih kewenangan regulator,” kata dia.
Bahkan salah satu pasal, yakni Pasal 50 B Ayat 2 huruf c yang mengatur larangan penayangan produk jurnalistik investigatif.
“Ini tidak masuk akal dan akan sangat berbahaya bagi kebebasan pers di Indonesia,” tegasnya.
Di lain sisi, lanjut dia, RUU ini juga menempatkan peran serta masyarakat, komunitas, lembaga pendidikan, maupun individu dalam fungsi yang sangat sempit, yakni hanya sebagai pemantau dan pengadu konten bermasalah dalam ekosistem penyiaran.
Maka dari itu, FPMD, Forum Cik Di Tiro dan Sejagad mendesak DPR RI segera menghentikan proses pembahasan RUU Penyiaran, kemudian proses pembahasan RUU Penyiaran dilakukan oleh DPR RI Periode 2024 – 2029.
Artikel lain
Usai Resmikan Bendungan, Presiden Iran Raisi Tewas Kecelakaan Helikopter
Tak Miliki Izin Haji, Arab Saudi Akan Denda Jemaah Rp42 Juta hingga Penjara
Korban Tewas Bencana Banjir Lahar di Sumatera Barat Capai 50 Orang
“DPR RI dan Pemerintah berikutnya harus mengatur penyiaran secara komperhensif dengan para pihak sehingga tidak ada benturan kewenangan dan pengaturan dengan kebijakan lainnya. Kami mengajak seluruh warga indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam mengawal penyiaran ini secara demokratis,” katanya. (Rep-02)