ICJR: Saatnya Optimalisasi Alternatif Pemidanaan Non Pemenjaraan

Dittipidsiber Bareskrim Polri menangkap peneliti BRIN APH kasus ujaran kebencian. Foto ilustrasi.
Dittipidsiber Bareskrim Polri menangkap peneliti BRIN APH kasus ujaran kebencian. Foto ilustrasi.

Erasmus mengungkapkan tujuh faktor identifikasi menjadi penyebab dari rendahnya penggunaan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan ini di antaranya adalah, adanya perbedaan pandangan antar penegak hukum mengenai tujuan pemidanaan yang dianut. Alternatif pemidanaan non pemenjaraan

Lambannya perkembangan regulasi dan kebijakan mengenai alternatif pemidanaan non pemenjaraan.  Adanya masalah dalam hal penahanan yang dijadikan sebagai “kewajiban” dalam proses peradilan pidana.

Buruknya koordinasi antar lembaga terkait dalam pelaksanaan pidana alternatif dan minimnya kontrol. Kecilnya kepercayaan masyarakat dan aparat penegak hukum pada pidana alternatif dan pelaksanaannya.

Minimnya peraturan pelaksana terkait ketentuan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan, dan  belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai seperti UPT Bapas, Pembimbing Kemasyarakatan, LPAS.

Faktor-faktor ini apabila tidak segera diperhatikan dan ditangani dengan baik, nantinya dapat dipastikan akan terus terjadi dan terulang pada ketentuan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan baru yang ada di dalam RKUHP. Sebab, sebenarnya ketentuan alternatif pemidanaan dalam RKUHP sebagian besar mengadopsi konsep alternatif pemidanaan yang sudah ada saat ini. Beberapa ketentuan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan dalam RKUHP adalah pidana pengawasan, pidana kerja sosial, judicial pardon, pidana denda, dan pidana penjara dengan mengangsur,”  jelas Erasmus.

Meskipun RKUHP sudah memuat lebih banyak ketentuan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan apabila dibandingkan dengan KUHP, namun menurut ICJR, ketentuan itu belum cukup. Sebab setidaknya terdapat 20 jenis alternatif lain yang dikenal di dunia, selain itu yang kemudian harus diperhatikan adalah kemampuan ketentuan ini untuk dapat diterapkan di kemudian hari.

Beberapa ketentuan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan di dalam RKUHP, seperti pidana pengawasan, memiliki batas minimum ketentuan yang harus dipenuhi untuk dapat dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana, yakni apabila terdakwa diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. Sedangkan, jumlah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dalam RKUHP jumlahnya sangat terbatas.

Hal-hal seperti ini jika tidak diperhatikan dengan hati-hati, akan menjadikan ketentuan alternatif pemidnaan dalam RKUHP sia-sia dan tidak dapat dilaksanakan. Akhirnya, cita-cita untuk menjadikan alternatif pemidanaan sebagai solusi terhadap masalah overcrowded tidak akan dapat dipenuhi.

Berdasarkan hal tersebut, rekomendasi ICJR pada dasarnya bertumpu pada semangat mereduksi logika pemenjaraan yang selama ini terpatri dalam alam pikir pembentuk undang-undang dan terutama aparat penegak hukum. Mengedepankan peluang alternatif pemidanaan non-pemenjaraan dalam beberapa aspek justru membuka hadirnya restorative justice yang lebih menekankan perbaikan bagi korban, pelaku dan masyarakat.

Agar hal ini bisa berjalan dengan baik, maka ICJR merekomendasikan, pertama; Pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk mulai memerhatikan pembahasan mengenai kebijakan alternatif pemidanaan non pemenjaraan sebagai solusi atas masalah overcrowded.

Kedua; Pemerintah agar segera melaksanakan evaluasi terhadap pelaksanaan alternatif pemidanaan non-pemenjaraan yang selama ini sudah berlangsung dan melakukan perbaikan serta segera menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang seharusnya ada untuk dapat melaksanakan ketentuan alternatif pemidanaan non pemenjaraan dengan maksimal. Kebutuhan ini mencakup aturan pelaksana yang bersifat teknis, infrastruktur sarana prasarana dan penguatan APH yang tidak melulu berpikir pemenjaraan.

Ketiga; aparat penegak hukum agar dapat memaksimalkan penggunaan alternatif pemidanaan non pemenjaraan sebagai upaya mengurangi overcrowded dan upaya untuk mendorong keberadaan restorative justice dalam sistem peradilan pidana. (Rep-02)