Jurnalis yang menurunkan laporan investigasi atas kasus yang sulit diungkap, maupun peneliti dan akademisi juga akan terdampak ketika melakukan penelitian menggunakan fitur API.
Dampak juga akan dirasakan komunitas atau organisasi yang bergerak di bidang identifikasi kebencanaan. Mereka biasanya menggunakan fitur API dan chatbot untuk mendeteksi kata kunci tertentu untuk pelaporan bencana alam secara aktual.
“Dengan kata lain, pembatasan penggunaan API berarti membatasi dan atau dapat menghilangkan praktik-praktik komunikasi tersebut,” ucap Febby.
Ada Pengawasan dan Evaluasi
Pengguna Twitter tidak bisa berharap banyak apabila monetisasi dan komersialisasi Twitter tidak selaras dengan demokrasi digital. Sebab, Twitter akan selalu tunduk pada kebijakan pemiliknya. Namun bukan berarti publik tidak memiliki peran sama sekali. Mengingat masyarakat di negara demokratis tetap bisa melakukan tuntutan untuk diteruskan lembaga legislatif sehingga dapat mempengaruhi kebijakan dari platform Twitter ini.
Artikel lain
Terpidana Korupsi Modal Kerja dan Investasi BSM Rp32 Miliar Ditangkap
Puncak HPN 2023 di Sumut, Presiden Jokowi Sentil Idealisme Media Massa di Tahun Politik
Gempa Turki, Presiden Erdogan Tempatkan Pengungsi di Hotel
Akhir tahun lalu, Amerika Serikat baru mensahkan undang-undang yang mewajibkan platform media sosial untuk menerapkan transparansi. Juga menyediakan akses data terhadap para peneliti yang memang sedang melakukan studi yang bermanfaat bagi publik, seperti Digital Services Oversight and Safety Act serta Platform Accountability and Transparency Act.
“Apabila kebijakan Twitter itu dijalankan, tentu akan diawasi dan dievaluasi oleh Kongres sebagaimana kita juga pernah saksikan bos Facebook yang pernah dipanggil kongres dan diminta keterangan soal kebocoran data di media sosialnya itu,” kata Febby. (Rep-04)
Sumber: Universitas Airlangga