Koalisi Sipil Gelar Aksi Tuntut Puan Maharani Sahkan RUU PPRT

Jelang HUT RI yang ke-79 Tahun, Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi ke Gedung DPR RI, mendesak Ketua DPR Puan Maharani mengesahkan RUU PPRT. Foto Istimewa.
Jelang HUT RI yang ke-79 Tahun, Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi ke Gedung DPR RI, mendesak Ketua DPR Puan Maharani mengesahkan RUU PPRT. Foto Istimewa.

Cerita kekerasan yang dialami PRT adalah cerita mengenai betapa rentannya PRT terhadap eksploitasi, diskriminasi, dan perbudakan.

Ragam kekerasan itu dibingkai dalam kultur, dan sistem ekonomi politik yang menempatkan PRT bukan sebagai pekerja, dan narasi besar bahwa kerja perawatan bukanlah kerja, meski PRT bekerja hampir 24 jam.

Diskriminatif dan eksploitatif itu dibakukan oleh negara melalui aparatusnya, yang mengakibatkan tumpulnya penegakan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap PRT.  Berdasarkan data Jala PRT, hanya 15 persen dari pelaku yang dihukum berdasarkan UU PKDRT.

Kekerasan dan eksploitasi juga terjadi pada PRT yang bekerja ke luar negeri, PRT Migran. Data Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) per periode Januari-Desember 2023, penempatan baru Pekerja Migran Indonesia sebanyak 274.964 jiwa, berdasarkan data Kementerian Luar Negeri ada 4 juta orang, data akumulatif yang dikeluarkan oleh Bank Dunia sekitar 9 juta orang Pekerja Migran Indonesia.

Sekitar 70 persen dari data tersebut adalah perempuan pekerja migran yang bekerja di sektor pekerja rumah tangga. Ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang menempatkan pekerja migran di sektor pekerja rumah tangga terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Dari pelbagai sumber data, perkiraan jumlah pekerja rumah tangga yang bekerja di dalam negeri sekitar 4 juta orang, dan dari jumlah itu sekitar 2,7 juta PRT mengalami pelanggaran hak ketenagakerjaannya, serta mendapatkan kekerasan fisik dan seksual.

Data Catatan Akhir Tahun Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tahun 2023 bahwa pengaduan di sektor PRT Migran pada rentang tahun 2010-2023 menjadi pengaduan tertinggi yang diterima oleh SBMI, yaitu sebesar 46 persen.

Dengan besarnya jumlah pekerja rumah tangga baik yang bekerja di luar negeri sebagai buruh migran dan yang bekerja di dalam negeri, pemerintah dinilai telah luput dan abai untuk melindungi pekerja rumah tangga atas pengakuan bahwa PRT adalah Pekerja sebagaimana standar yang diatur oleh Konvensi ILO-189.

Artikel lain

Total Transaksi UMKM Digiland 2024 Capai Rp463 Juta

Anggota Banggar DPR Kritik Biaya HUT RI Rp87 Miliar

68 Film Pendek Pelajar Ikuti FFPJ XV 2024 Bertema Tepa Salira

“RUU ini merupakan langkah krusial dalam memperbaiki kondisi kerja dan melindungi hak-hak pekerja rumah tangga di Indonesia, yang selama ini sering terabaikan. Pekerja rumah tangga, baik yang bekerja di dalam negeri maupun yang berstatus sebagai pekerja migran, seringkali menghadapi berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan tidak adil. Teman-teman kita PRT bekerja dalam kondisi yang rentan tanpa jaminan sosial dan hak-hak dasar yang memadai. RUU PPRT yang saat ini masih menunggu pengesahan di DPR merupakan tonggak penting untuk memberikan perlindungan hukum yang layak bagi pekerja rumah tangga, termasuk hak atas upah yang adil, waktu istirahat, dan perlindungan dari kekerasan. Jangan sandera lagi perlindungan ini, PRT butuh payung hukum dan perlindungan mutlak dari negara,” tegas Yunita Rohani, Koordinator Advokasi SBMI. (Red)