RIENEWS.COM – Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari 12 organisasi mengecam langkah Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) melaporkan sutradara dan tiga pakar Hukum Tata Negara pengisi film dokumenter Dirty Vote ke Mabes Polri. Langkah itu dinilai membungkam pihak-pihak yang mengungkap dugaan kecurangan pemilu. Juga menghambat hak publik untuk mengakses informasi maupun partisipasi publik melakukan kontrol sosial atas penyelenggaraan Pemilu 2024.
Dalam siaran pers yang diterima Rienews.com tertanggal 13 Februari 2024 menjelaskan, film dokumenter Dirty Vote adalah karya sutradara Dandhy Laksono yang diisi tiga ahli HTN, negara yakni Zainal Arifin Mochtar, Feri Amsari, dan Bivitri Susanti. Film itu diluncurkan pada 11 Februari 2024. Hingga 13 Februari 2024, film tersebut telah ditonton 16 juta kali di Youtube.
DPP Foksi melaporkan tim yang terlibat dengan Pasal 287 ayat (5) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, di mana film Dirty Vote dianggap melanggar ketentuan di masa tenang Pemilu. Para pelapor menuding Dirty Vote sebagai kampanye hitam terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Narasi ini menggunakan dalih waktu peluncuran Dirty Vote yang bertepatan dengan masa tenang sebelum pemungutan suara Pemilu 2024.
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan, seluruh tuduhan yang disampaikan DPP Foksi adalah keliru. Apa alasannya?
Pertama, dokumenter Dirty Vote sesungguhnya diproduksi secara kolaboratif oleh jurnalis dan organisasi masyarakat sipil, meliputi AJI, Bangsa Mahardhika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Greenpeace, ICW, JATAM, Jeda untuk Iklim, KBR, LBH Pers, Lokataru, Perludem, Salam 4 Jari, Satya Bumi, Themis Indonesia, WALHI, Yayasan Dewi Keadilan, Yayasan Kurawal dan YLBHI.
Pembiayaan film ini juga berasal dari sumbangan individu dan organisasi masyarakat sipil.
Kedua, narasi “kampanye hitam” yang disokong dengan penggunaan ketentuan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 280 dan 287. Pasal 280 ayat (1) sampai (4) tentang larangan dalam kampanye pemilu sama sekali tidak melarang pengungkapan atau publikasi fakta-fakta pelanggaran pemilu seperti yang diungkap dalam Dirty Vote.
Upaya untuk menarasikan Dirty Vote sebagai kampanye hitam merupakan bentuk deligitimasi terhadap kritik dan fakta-fakta yang disajikan pada film tersebut.
Ketiga, dokumenter tersebut tidak dibuat untuk menguntungkan atau merugikan peserta pemilu tertentu. Sebaliknya, dokumenter ini merupakan kajian kritis berdasarkan fakta-fakta yang telah dipublikasikan sebelumnya dalam berbagai karya jurnalistik. Seluruh kandidat capres-cawapres yang berkontribusi pada bentuk-bentuk dugaan kecurangan Pemilu 2024 disebut dalam film berdurasi hampir 2 jam tersebut.
Tudingan DPP Foksi sama seperti pola-pola serangan balik terhadap berbagai kritik sebelumnya terhadap pemerintah. Pola itu dengan mendiskreditkan para pengkritik atau pengungkap fakta dengan tuduhan negatif yang tidak berdasar, salah satunya menuduh pengkritik merupakan bagian dari lawan politik (killing the messenger).
Narasi-narasi ini biasanya berlanjut dengan langkah hukum berupa pelaporan ke kepolisian untuk menekan para pengkritik atau setidaknya mengaburkan substansi kritik dalam percakapan publik. Dalam konteks respons terhadap Dirty Vote, alih-alih membantah fakta-fakta kecurangan yang diungkap dalam dokumenter tersebut dengan data yang memadai, para pelapor justru menuding film ini sebagai “kampanye hitam”, “pesanan calon presiden tertentu”, hingga “membuat kegaduhan pada masa tenang”.
Tudingan tersebut cacat logika karena fakta-fakta pelanggaran pemilu harus diungkap ke publik melalui berbagai kanal sehingga bisa diproses oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Artikel lain