ASN dan Menteri menjadi pelaku terbanyak pelanggaran karena banyak kasus pelanggaran netralitas yang melibatkan kedua unsur ini. Misalnya ditemukan banyak kasus kepala daerah, kepala dinas yang mengarahkan bawahannya untuk memilih calon tertentu. Juga banyak kasus pelanggaran netralitas yang melibatkan menteri, misalnya menfasilitasi sosialisasi calon tertentu melalui program atau kegiatan kementrian.
Demikian halnya Kepala Desa/Lurah ditemukan banyak kasus mobilisasi aparatnya untuk mendukung calon tertentu. Yang paling kentara adalah keterlibatan Asosiasi Kepala Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) dalam beberapa kegiatan yang menghadirkan salah satu Capres.
Unsur TSM Terpenuhi
Apabila mencermati dokumentasi kasus-kasus kecurangan Pemilu, yang menjadi persoalan tidak semua definisi hukum menjangkau semua praktik yang terjadi. Namun bisa melihat dalam kasus-kasus tersebut ada masalah yang menimbulkan ketidakadilan.
Ada sumber daya negara yang disalahgunakan untuk mendukung dan menguntungkan salah satu paslon capres-cawapres, ada pelanggaran terhadap prinsip Jurdil dalam Pemilu terlepas dari definisi hukumnya. Khususnya bagi penegak hukum, harusnya tafsirnya dikembangkan dan melihat tujuan pengaturannya, yaitu pemilu yang Jurdil dan demokratis.
“Kasus-kasus kecurangan Pemilu yang cenderung menguntungkan salah satu paslon mengindikasikan terpenuhinya unsur kecurangan yang bersifat TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Massif),” tegas Direktur Imparsial, Gufron Mabruri.
Terstruktur artinya, dia berada dalam struktur yang menjalankan kecurangan. Sistematis artinya keluar dalam bentuk kebijakan. Dan masif berarti dampaknya massif. Unsur TSM juga bisa dilihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, baik sebelum maupun saat Pemilu berdampak praktik-praktik kecurangan yang terjadi, misalnya kebijakan bansos.
Dari kacaramata prinsip Jurdil, kebijakan tersebut jelas tidak adil bagi semua karena hanya menguntungkan salah satu paslon. Hanya Presiden yang punya wewenang untuk mengeluarkan bansos, kapan dan dimana. Bansos sebagai fasilitas negara digunakan untuk kepentingan salah satu paslon.
Kecurangan Pemilu yang bersifat TSM disebabkan dua hal. Pertama, karena kewenangan yang dimiliki oleh aparatur negara, misalnya dia seorang pejabat. Dengan kewenangan tersebut dia memiliki akses daan otoritas untuk menggunakan fasilitas, anggaran, pembatan kebijakan, yang kemudian disalahgunakan untuk kepentingan politik pemilu.
Kedua, adalah pengaruh. Pengaruh lahir juga dari kewenangan. Misalnya kepada daeah tertentu menginstruksikan kepada jajarannya untuk memberi keistimewaan atau menghalangi paslon tertentu sehingga menimbulkan situasi yang tidak adil bagi paslon lain.
Mencermati data penyimpangan aparat negara yang ada, oalisi menilai bahwa yang sedang berlangsung sebenarnya bukan sekadar kecurangan Pemilu. Namun sudah masuk dalam kategori kejahatan Pemilu (electoral evil) yang melibatkan pelaku di seluruh lapis jenjang dan jabatan aparatur negara, dari Kepala Desa/Lurah hingga Presiden.
“Penyimpangan tidak hanya melibatkan sumber daya berupa human power atau anggaran, namun juga berupa kebijakan yang dimanipulasi dan disabotase sedemikian rupa untuk pemenangan kandidat tertentu,” kata Direktur Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Dimas Bagus Arya.
Dari sisi kuantitas kasus, juga terjadi lonjakan luar biasa. Pada periode pemantauan awal antara Mei-Oktober 2023 yang hanya 50-an kasus, terjadi lonjakan hampir 300 persen dalam 3 bulan terakhir. Secara umum, koalisi menilai bahwa apa yang dicatat dan dilaporkan hanyalah puncak dari fenomena gunung es.
Artikel lain
4 Poin yang Harus Dipastikan Pengawas TPS
Indonesia Dorong Dunia Investasi Vaksin TBC Baru
12 Parlemen Negara Asing Pantau Pemilu di Indonesia
“Yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dibandingkan dengan keseluruhan yang tidak tampak,” imbuh Ketua Centra Initiative, Al Araf. (Rep-04)