Lima Catatan Masalah YLBHI Soal Pengesahan Revisi Keempat UU Minerba

YLBHI menolak pengesahan RUU Minerba. Foto ilustrasi AI.
YLBHI menolak pengesahan RUU Minerba. Foto ilustrasi AI.

RIENEWS.COM – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak pengesahan revisi keempat Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Hasil Rapat Paripurna DPR RI pada Selasa, 18 Februari 2025, menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Di Pasal 60A (revisi UU Minerba), mengatur bahwa untuk meningkatkan kemandirian dan keunggulan perguruan tinggi, pemerintah pusat akan memberikan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) Batu Bara secara prioritas kepada BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta untuk kepentingan perguruan tinggi.

“Revisi UU Minerba memuluskan agenda perampasan tanah rakyat, pengrusakan lingkungan, dan kooptasi institusi perguruan tinggi,” keterangan siaran pers YLBHI pada Rabu, 19 Februari 2025.

Ini lima catatan masalah YLBHI atas revisi UU Minerba.

1. Pembahasan yang Ugal-Ugalan

Pengesahan revisi UU Minerba dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa partisipasi publik yang memadai. Proses pembahasannya tidak transparan dan minim kajian mendalam terkait dampak sosial, lingkungan, dan akademik. Hal ini kian mencerminkan watak pemerintahan yang lebih mengutamakan kepentingan bisnis daripada kepentingan rakyat.

2. Penundukkan Kampus dan Pengekangan Kebebasan Akademik (Pasal 75A)

Revisi UU Minerba memperlihatkan bagaimana kampus diarahkan untuk menjadi klien dalam mekanisme penerima manfaat dari perusahaan tambang. Dengan adanya celah hukum yang memungkinkan kampus terlibat dalam bisnis pertambangan, dunia pendidikan semakin dikomersialisasi.

Kampus bukan lagi tempat mencari ilmu demi kepentingan rakyat untuk secara aktif menjawab masalah-masalah sosial, melainkan menjadi mesin produksi tenaga kerja yang melayani kepentingan pasar, khususnya industri tambang. Dunia pendidikan akan didorong untuk semakin berkontribusi pada optimalisasi profit bisnis tambang. Ini memperparah kecenderungan pendidikan tinggi yang sudah lama terjebak dalam logika bisnis dan komersial.

Penundukan kampus bukan hanya membungkam sikap kritis akademisi, tetapi juga membuat kampus semakin tunduk pada mekanisme pasar. Akibatnya, biaya pendidikan menjadi semakin tidak menentu, bergantung pada fluktuasi produksi dan penjualan hasil tambang. Ini memperburuk aksesibilitas pendidikan tinggi bagi masyarakat yang kurang mampu.

Artikel lain

Mahasiswa Gelar Aksi Demonstrasi Indonesia Gelap, Protes Kebijakan Presiden Prabowo

YLBHI: Kebijakan Efisiensi Prabowo Menganggu Layanan Keadilan

Celios: 100 Hari Kerja Prabowo Rapor 5 Gibran Rapor 3