Lalu, gempa Majene yang terjadi pada dua hari berurutan yaitu 14 Januari 2021 dengan M5,9 dan 15 Januari 2021 dengan M6,2.
Ahli geologi ITB Benyamin Sapiie menyampaikan bahwa daerah Majene dan Mamuju merupakan daerah aktif deformasi berupa lipatan anjakan, yang melibatkan batuan dasar dan memperlihatkan keaktifan gempa tinggi.
“Gempa Mamuju yang terjadi juga diakibatkan oleh aktivitas sesar naik pada zona fold-thrust-belt di bawah permukaan yang melibatkan batuan dasar, yang merupakan bagian dari zona FTB Sulawesi Barat,” tambah Sapiie.
Pascagempa M6,2 BMKG mencatat hingga Senin, 1 Februari 2021, telah terjadi 39 kali gempa susulan.
“Total jumlah gempa sejak terjadi gempa pembuka tercatat 48 kali dengan gempa dirasakan sebanyak 10 kali,” ujar Daryono.
Sementara itu, dilihat dari sisi kerusakan bangunan, gempa awal tahun ini sangat merusak. Namun demikian tampak titik-titik kerusakan tersebar tidak merata. Analisis kerusakan pada bangunan tampak ada kerusakan, seperti pada area sambungan balok kolom dan dilatasi. Dilatasi merupakan sambungan atau pemisahan pada bangunan, yang berfungsi menghindari terjadinya keretakan atau putusnya sistem struktur bangunan apabila terjadi beban pada bangunan.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Iswandi Imran, faktor kerusakan bangunan tertentu dipengaruhi acuan terhadap building code yang mengacu pada SNI 2002 atau sebelumnya. Ia mengatakan, seismic detailing yang terpasang kemungkinan besar tidak memadai untuk zona gempa tinggi.
Seismic detailing biasanya diperhatikan dalam struktur bangunan, khususnya pada bagian balok dan kolom untuk mempertahankan kekuatan apabila terjadi guncangan.
Imran menyampaikan, strategi jangka panjang untuk mitigasi risiko pada bangunan yang ada perlu dikaji ulang serta di-retrofit agar dapat menahan kejadian gempa besar yang mungkin terjadi.
“Perlu disusun peta kerentanan atau risiko bangunan, khususnya bangunan hunian di wilayah Sulbar,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa perancangan bangunan baru agar dilakukan secara konsisten dengan mengacu pada SNI gempa dan SNI detailing terkini. Ini akan berpengaruh terhadap dampak, baik korban jiwa maupun kerusakan bangunan.
Sedangkan jangka pendek, Imran mengatakan perlu disepakati level hazard gempa relevan, yang dapat digunakan untuk mengevaluasi bangunan-bangunan penting eksisting, khususnya yang direncanakan berdasarkan SNI 2002.
Hal ini perlu dilakukan dalam masa tanggap darurat mengingat bangunan yang ada kemungkinan belum diberi seismic detailing yang memadai pada zona gempa tinggi. (Red)