Peneliti UGM Sebut Lahan Sawah di Bantul Rusak Akibat Tambang Batu Bata

Seorang ibu petani sedang menanam padi di sawah di waktu pagi hari. [Foto Rienews]

RIENEWS.COM – Peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada (PSLH-UGM), Yogyakarta, Iqmal Taher, M.Si., menyatakan banyak lahan sawah di Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami kerusakan akibat aktivitas penambangan untuk batu bata. Kerusakan lahan persawahan di Bantul menyebar di Kecamatan Banguntapan, Piyungan, dan Pleret.

“Kerusakan banyak terjadi di daerah Banguntapan, Piyungan, dan Pleret,” ujar Iqmal Taher, Rabu 10 April 2019, dalam dalam siaran pers yang diterima Redaksi.

Data Jurnal Riset Daerah Wibowo, Y.A., dan Santosa, T.S., (2017) mencatat luas industri batu bata yang termasuk dalam wilayah Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Kabupaten Bantul tahun 2017 adalah 11,689 hektar. Industri batu bata tersebut tersebar di tujuh kecamatan yaitu Kecamatan Banguntapan, Piyungan, Pleret, Sewon, bantul, Jetis, dan Kasihan.

Aktivitas penembangan untuk produksi batu bata, kata Iqmal, semakin mengkhawatirkan, sebab kegiatan penambangan semakin meluas dan banyak dilakukan di kawasan produktif. Penggalian tanah secara terus menerus membuat lapisan tanah subur menjadi semakin berkurang, bahkan hilang. Pasca tambang, lahan mengalami degradasi karena tereksploitasi secara besar-besaran.

Baca Berita:

Bupati Karo Dukung Rakerwil Pimpinan Gereja

Pria Mengapung di Aek Hotang Itu Sampe Tua Sihaloho

“Sebenarnya pemerintah telah membuat regulasi terkait tambang galian golongan C, termasuk batu bata. Namun penegakan aturanya belum optimal. Ada dilema karena industri batu bata menjadi mata pencaharian utama warga,” ungkap Iqmal juga Dosen Kimia FMIPA UGM.

Dalam mengatasi kerusakan lahan sawah, Iqmal mengajukan sejumlah alternatif solusi agar industri batu bata tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Salah satunya, adalah dengan menggunakan tanah dari lahan yang tidak produktif sebagai bahan baku industri batu bata seperti memanfaatkan tanah sedimentasi di sungai. Langkah lain, dengan melakukan zonasi kawasan industri batu bata. Pembatasan wilayah ini diharapkan dapat mengurangi kerusakan lingkungan tidak semakin meluas.

Sedangkan untuk mengembalikan fungsi lahan bekas galian tambang, menurut Iqmal, dapat dimulai dengan melakukan penimbunan kembali bekas galian tambang dengan tanah. Namun, upaya tersebut tidaklah mudah dilakukan dan membutuhkan biaya besar.

“Jika tidak ditimbun, bisa dilakukan optimalisasi lahan bekas galian tambang dengan menjadikannya kolam ikan atau tempat wisata kuliner,” tutur Iqmal.

Peniliti PSLH-UGM lainnya, Dr.rer.nat Arifudin Idrus menyebutkan pasca tambang, sebagian besar lahan hanya dibiarkan begitu saja tanpa ada pengelolaan lebih lanjut. Di saat musim kemarau, lahan bekas tambang akan terlihat berlubang-lubang, sementara ketika musim penghujan penuh dengan genangan air.