RIENEWS.COM – Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa Presiden hingga menteri boleh berkampanye dan boleh berpihak dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendapat beragam kritikan dari masyarakat sipil.
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia misalnya, menilai aturan yang diacu Jokowi adalah ketentuan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) UU HAM serta Pasal 281 dan 304 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun pemahaman Jokowi atas pasal-pasal tersebut dinilai salah kaprah, sehingga menimbulkan kegaduhan dan memperkeruh suasana menjelang Pemilu 2024.
“Pemahaman Presiden (atas pasal tersebut) adalah salah kaprah dalam etika demokrasi yang sehat. Dan itu bentuk pelanggaran atas asas-asas Pemilu,” tegas Direktur PSHK FH UII, Dian Kus Pratiwi dalam siaran pers yang diterima Rienews.com, Rabu, 24 Januari 2024.
Tak hanya itu, PSHK FH UII juga mencatat serentetan salah kaprah pemahaman lainnya dari Jokowi. Seperti salah kaprah juga tercermin dari betapa sulitnya memisahkan fakta antara figur seorang Joko Widodo sebagai personal individu yang tetap memiliki hak berpolitik dan sebagai Presiden yang menjalankan kekuasaan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga dibatasi kekuasaannya termasuk hak politiknya.
Salah kaprah lainnya juga terlihat dari inkonsistensi sikap Jokowi selama ini yang selalu menekankan netralitas pejabat publik termasuk Presiden. Bahkan mengajak kepada seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), Polri dan TNI untuk bersikap netral.
“Tapi pucuk pimpinannya, yakni Presiden justru ingin melenggang dengan berpihak dan berkampanye dalam Pemilu,” tukas Dian.
Ia menggarisbawahi, bahwa pemaknaan hak politik seorang presiden harus dimaknai secara komprehensif dan holistik. Tidak hanya berfokus pada masih diperbolehkannya berpihak dan ikutserta dalam kampanye, tetapi juga terbatas pada etika Pemilu yang sehat dan etika menjalankan kekuasaan pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana amanat Reformasi 1998.
Bahkan beberapa kontitusi di berbagai negara secara tegas menihilkan fungsi politik partisan seorang presiden setelah terpilih agar tercipta iklim demokrasi yang sehat dan bertetika, seperti di negara Perancis, Turki, Kosovo, Albania.
Netralitas sebagai presiden juga tersirat di dalam aturan main tertinggi dalam bernegara, yakni Pasal 4 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Intinya, bahwa Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan harus tunduk pada konstitusi; bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya dan berbakti kepada nusa dan bangsa serta Pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber dan jurdil).
“Ketentuan itu mengamanatkan Presiden dalam Pemilu harus bersikap seadil-adilnya dan tunduk pada asas luber dan jurdil,” kata Dian.
Sementara Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mendesak Jokowi menarik pernyataannya tersebut, karena akan berpotensi menjadi alasan pembenar untuk pejabat negara dan seluruh aparatur negara untuk menunjukkan keberpihakan politik di dalam penyelenggaraan pemilu, dan berpotensi membuat proses penyelenggaraan pemilu
dipenuhi dengan kecurangan, dan menimbulkan penyelenggaraan pemilu yang tidak fair dan tidak demokratis.
Bawaslu dan DPR Jangan Diam
Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) berpendapat sebagai berikut:
Pertama, klaim Jokowi, bahwa Presiden dan Menteri boleh berpihak dan berkampanye adalah sikap berbahaya dan menyesatkan yang akan merusak demokrasi dan negara hukum Indonesia. Jika dibiarkan, sikap tersebut akan melegitimasi praktik konflik kepentingan pejabat publik, penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara yang tegas dilarang.
Pasal 281 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan, bahwa “Pejabat Negara, Pejabat Struktural, Pejabat Fungsional dalam Jabatan Negeri, serta Kepala Desa dilarang membuat Keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.
Kemudian Pasal 283 UU aquo yang menegaskan bahwa pejabat negara serta aparatur sipil negara dilarang melakukan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan kepada peserta pemilu, sebelum, selama dan sesudah kampanye.
Artikel lain
Pernyataan Jokowi Soal Pemilu, 2023 Presiden Tak Boleh Memihak, 2024 Boleh
Menteri PUPR Tinjau 3 Jalan Tol Proyek PSN, Ini Progresnya
Pakar UGM Kritik 3 Capres Lupakan LDKPI dalam Hubungan Internasional