“Sikap hidup mewah bertentangan dengan kebiasaan dan kebaikan puasa maupun ajaran agama secara keseluruhan,” kata Haedar.
Ketiga, puasa momentum menjaga persatuan dan persaudaraan. Orang yang berpuasa pandai mengendalikan diri terutama dari emosi amarah dan kebencian. Segala bentuk pertengkaran dan permusuhan akan dijauhi. Sekalipun terdapat perbedaan paham yang hebat, orang yang berpuasa akan senantiasa cinta damai dan persaudaraan. Di dalam diri orang yang berpuasa, tidak ada tempat yang tersisa bagi para pemuja amarah dan pemantik konflik.
“Puasa mengajarkan hidup damai, rukun, dan diajarkan untuk hidup bersatu dan bersaudara. Puasa harus melahirkan gerakan sosial kebangsaan yang membuat kaum muslim sebagai kekuatan perekat bangsa, dan pembawa perdamaian yang mencegah konflik,” papar Haedar.
Keempat, puasa momentum untuk hidup penuh toleran. Perbedaan penentuan tanggal untuk hari-hari besar umat Islam, misalnya, tidak perlu menjadi bahan olok-olokan. Sebaliknya, puasa seharusnya menjadikan diri muslim sebagai insan yang tasamuh, toleran, membawa pada ukhuwah.
“Dengan toleran, kita hidup saling menghormati. Para ilmuwan, ulama, mubaligh, dan semuanya, ketika menemui perbedaan, harusnya semakin dewasa dan tasamuh,” tegas Haedar.
Artikel lain
‘Dewa Thor’ Pakai Helm, Menparekraf Sosialisasi Do’s and Don’ts Wisman
Anjuran Al Quran, Sambutlah Bulan Ramadan dengan Suka Cita
Pemerintah Tetapkan 1 Ramadan 1444 H Tanggal 23 Maret 2023
Haedar berharap kehaadiran puasa Ramadan melahirkan pribadi-pribadi yang luhur dan utama. Pribadi yang semakin dekat dengan Allah, terbiasa melakukan perilaku akhlak mulia, senantiasa menjaga persatuan dan persaudaraan, dan membangun kehidupan yang penuh toleran di antara perbedaan. (Rep-04)
Sumber: Muhammadiyah