Dalam Aksi Sejagad “30 Hari Matinya Demokrasi di Rezim Jokowi”, massa aksi membawa instalasi nisan yang ditutup kain putih. Jagad menyerukan enam poin tuntutan:
Pertama, revisi UU Pemilu dan Partai Politik oleh badan independen.
UU Pemilu dan UU Partai Politik harus direvisi oleh badan independen, sebuah badan yang terlepas dari konflik kepentingan penguasa hari ini dan jaringan oligarki dalam cakupan lebih luas. Kedua undang-undang ini bermasalah di antaranya karena masih memberikan pembatasan ideologi dalam menjalani sebuah partai, menyediakan celah bagi oligarki untuk membajak demokrasi, serta masih mengecilkan peran-peran masyarakat sipil.
Kedua, adili Jokowi dan kroni-kroninya
Sederet dosa kejahatan demokrasi yang dilakukan Jokowi dan kroni-kroninya, sebagaimana sudah dijabarkan di atas, merupakan pengkhianatan nyata pada amanat Reformasi 1998. Maka dari itu, pilihan tegas untuk mengadili mereka mesti segera dijalankan. Akan tetapi, perangkat dan struktur kenegaraan yang sudah dimasukkan ke dalam lingkaran setan oligarki tidak bisa lagi diharapkan. Jalan alternatifnya adalah menegakkan Pengadilan Rakyat atas segala kejahatan yang sudah dilakukan.
Ketiga, cabut UU Cipta Kerja dan Minerba
Kedua UU ini sudah ditolak rakyat sejak penggodokan RUU-nya. Melalui kedua UU ini, pemilik modal terutama yang memiliki ikatan dengan jejaring oligarki dengan mudah menghisap sumber daya manusia dan alam Indonesia secara brutal hanya demi akumulasi kapital. UU Cipta Kerja dengan jelas melakukan perbudakan modern melalui outsourcing dengan hanya memperbolehkan buruh mengambil cuti tahunan, antarjam kerja, dan libur mingguan.
Sedangkan UU Minerba membuat kebijakan terkait minerba hanya diambil dari pemerintah pusat sehingga berdampak lemahnya pengawasan terhadap pengusaha tambang, baik dari segi regulasi maupun penerapannya di lapangan. Ini juga berdampak tidak dilihatnya penolakan warga terdampak di wilayah tambang dan sekitarnya, sehingga menampakkan penguasa memang sengaja ingin merampas ruang hidup buruh, petani, dan masyarakat adat.
Keempat, lawan politik dinasti.
Pesta pora demokrasi yang dijalankan lima tahunan kenyataannya hanya menjadi milik para elite. Partisipasi rakyat terbatas pada peran penyumbang suara untuk menambah agregasi skor para calon yang berkontestasi. Di antara yang menjadi faktor penyebabnya adalah sistem pemilu melalui peraturan UU Partai Politik dan UU Pemilu yang menguntungkan elite.
Akhirnya, dampak mengerikan seperti terjadi sampai hari ini adalah gelaran karpet merah bagi pemain-pemain politik kelas kakap. nepotisme merajalela, menjelma menjadi politik dinasti berbaju sistem pemilu demokratis.
Keenam, bangun oposisi permanen atau “oposisi rakyat”
Ketegasan sikap politik kritis menjadi barang mahal hari ini. Pada sisi masyarakat, langkah kritik dan sikap berlawanan dengan penguasa masih belum menjadi pembiasaan di masyarakat. Nahasnya, dari sisi penguasa, pembatasan dan represi pada kebebasan bersuara terus diperketat, sehingga cita-cita tercapainya budaya kritis semakin jauh dari angan. Bukti-bukti ini bisa dilihat dari penerbitan dan revisi UU ITE, aktivasi kepolisian dan tentara yang menekan kebebasan berekspresi masyarakat, hingga kriminalisasi pembela HAM.
Padahal kebebasan berpendapat yang menjadi satu indikator kesehatan demokrasi merupakan jalur bagi terciptanya “oposisi rakyat”. Ketegasan rakyat menjadi oposan adalah mutlak dibutuhkan untuk meruntuhkan penjahat-penjahat demokrasi. Fungsinya adalah mengawasi kekuasaan dan berperan aktif menyuarakan kebutuhan dirinya sebagai rakyat.
Ketujuh, seruan aksi setiap tanggal 14
Aksi rakyat untuk mengingat catatan kelam sejarah kematian demokrasi harus terus diingat. Sekaligus juga, momentum ini mesti menjadi ruang perhimpunan kekuatan rakyat untuk menjaga jalannya praktik demokrasi. Maka dari itu, Jagad sendiri dan juga mendorong kepada jaringan kelompok-kelompok masyarakat sipil lain untuk rutin menegakkan semangat perjuangan demokrasi setiap tanggal 14. (Rep-04)