Sisa Rumoh Geudong Pidie Dihancurkan, Aktivis: Penghilangan Barang Bukti Kasus HAM

Sisa bangunan Rumoh Geudong yang diratakan. Foto Dok. Kontras Aceh.
Sisa bangunan Rumoh Geudong yang diratakan. Foto Dok. Kontras Aceh.

Kemudian ditambah dengan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong yang merupakan tempat terjadinya pelanggaran HAM berat oleh pemerintah daerah.

Pemerintah secara terang benderang telah menghancurkan, merusak dan menghilangkan situs penting yang semestinya bisa menjadi barang bukti untuk kebutuhan yudisial, dalam hal ini pengadilan HAM.

“Upaya penghancuran sisa fisik bangunan di Rumoh Geudong adalah upaya negara untuk menghilangkan barang bukti fisik pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di sana. Ini, salah satu sikap sistematis dan terencana negara dalam memberikan impunitas kepada pelaku pelanggaran HAM Berat,” papar Syahrul.

Terhadap hal tersebut YLBHI-LBH Banda Aceh menyatakan sikap, bahwa Presiden Jokowi telah melakukan:

Pertama, upaya mengaburkan eksistensi Komnas HAM
Dengan menggunakan data Komnas HAM, negara terlihat mengaburkan perintah UU HAM dan UU Pengadilan HAM terhadap kerja-kerja Komnas HAM. Dua UU tersebut jelas menentukan, bahwa langkah penyelidikan oleh Komnas HAM dilakukan untuk kebutuhan pro-justicia yang langsung bersisian dengan kepentingan pemenuhan hak korban, yaitu hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum (pengadilan), pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan.

Menggunakan hasil kerja Komnas HAM untuk penyelesaian kasus secara non-yudisial justru mendelegitimasi Komnas HAM secara kelembagaan, fungsi, sekaligus cita-cita negara untuk menjamin pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan atas hak asasi manusia seluruh warga negara. Ini merupakan jalan keluar bagi Presiden untuk lari dari tanggung jawab dengan menjadikan “pemulihan korban” sebagai alasan belaka.

Kedua, memberi impunitas terhadap pelaku
Pembentukan tim TPPHAM menunjukkan, ketiadaan upaya negara untuk mencapai aspek kepastian hukum dalam tugas dan fungsi Tim PPHAM. Akibatnya, terjadi keberlanjutan impunitas bagi orang atau kelompok yang diduga keras telah melakukan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Kasus-kasus pelanggaran HAM berat telah jelas mekanisme penyelesaiannya, yaitu melalui pengadilan HAM. Jika alasan pembentukan Tim PPHAM ini untuk mempercepat pemulihan bagi korban, seharusnya pemerintah justru mengedepankan adanya peradilan HAM untuk memeriksa kasus-kasus yang telah terjadi. Hal ini sejalan dengan upaya Komnas HAM yang telah melakukan penyelidikan untuk kasus-kasus tersebut.

Dalam laporan hasil penyelidikan Komnas HAM pada 2020 menyebutkan, bahwa Komnas HAM telah membentuk Tim Ad-Hoc Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat dengan tujuan mendorong Jaksa Agung untuk menindaklanjuti laporan tersebut ke tahapan penyidikan dan penuntutan. Bukan malah menolaknya berkali-kali. Sementara Jaksa Agung adalah jabatan politis yang diisi oleh orang pilihan Presiden.

Seharusnya yang dilakukan Presiden Jokowi dalam merespon temuan Komnas HAM adalah mendorong percepatan pembentukan pengadilan HAM agar keempat elemen penting hak korban bisa terpenuhi, yaitu hak atas kebenaran, adanya kepastian hukum (pengadilan), pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan.

Ketiga, menjebak korban atas nama hak atas pemulihan
Tidak bisa dinafikan bahwa terobosan melakukan pemulihan bagi korban tanpa menunggu adanya putusan pengadilan adalah penting. Mengingat korban telah lama menunggu intervensi negara. Perlu diingat pemulihan korban dan mengadili pelaku adalah dua hal yang berbeda.

Pemulihan korban mestinya dilakukan negara tanpa harus menggunakan embel-embel “penyelesaian kasus”. Sebab bisa berimbas pada terjadinya preseden buruk dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Artikel lain

PPIH Imbau Jemaah Haji Tidak Swafoto Depan Kabah

Koalisi Sipil: Tunda Pengesahan RUU Kesehatan dan Pastikan Partisipasi Publik

Suara DPR Tak Bulat Bawa RUU Kesehatan ke Paripurna

“Seolah-olah negara bebas melakukan pelanggaran HAM warga negaranya, setelah itu tinggal bayar,” kata Syahrul. (Rep-04)
Sumber: Kontras Aceh